Miss Argentina Tewas Saat Operasi Tubuh hal ini Gara-gara ingin mempertahankan keelokan tubuhnya, seorang mantan model justru tewas setelah melakukan bedah pada bagian tertentu tubuhnya. Dia adalah mantan Miss Argentina, Solange Magnano (38), yang dilarikan ke rumah sakit pada saat-saat terakhirnya setelah melakukan sebuah operasi kosmetik.

Ibu dua anak kembar itu meninggal pada hari Minggu, setelah arteri paru-parunya terganggu yang membuat kondisinya kritis selama tiga hari di ruang perawatan intensif, seperti yang ditulis Daily Mail, kemarin. Teman dekatnya, Roberto Piazza, menyebut si pemilik rambut coklat ini telah terobsesi dengan penampilannya sebagai model yang sukses di akhir kariernya.

"Solange adalah seorang gadis muda yang memiliki segalanya. Dia menjalani kehidupan bak dewi, namun ia masih merasa iri di dunia," katanya. "Sekarang dia meninggal hanya karena ia ingin memiliki tubuh yang kencang." Magnano dianugerahi mahkota sebagai Miss Argentina pada 1994, sebelumnya juga melakukan operasi pada bagian payudaranya.

Kamis lalu, ia berangkat ke Kota Buenos Aires untuk operasi implan bokong. Namun, dari sebuah klinik swasta dia dilarikan ke rumah sakit tak lama setelah operasi. Magnano dimakamkan di kota asalnya di San Francisco.

Sekitar 300 orang hadir dalam acara itu. Kematiannya menjadi perbincangan yang menghebohkan di Argentina menyangkut benar tidaknya operasi kosmetik.




Beredarnya video tuyul Bogor yang ditayangkan oleh sejumlah stasiun televisi membuat para artis juga ikutan merinding, dan salah satunya adalah artis Marsha Timothy.

"Merinding deh," ujarnya saat ditemui detikhot di sela-sela syuting video klip 'Dua Cincin' milik band Hello di perumahan Bukit Cinere Indah, Jakarta Selatan.

Marsha mengaku sudah mendengar soal pemberitaan video tuyul itu. Namun ia memilih untuk tidak melihatnya.

"Aku nggak mau lihat, nggak tertarik. Aku orangnya penakut jadi lebih baik menghindar," imbuhnya.

Namun sebagai manusia beriman, Marsha percaya akan adanya makhluk halus. Ia hanya berharap masyarakat tidak heboh berlebihan.


Video mesum yang melibatkan kalangan pelajar, kembali mengguncang Pulau Garam. Kali ini, diperankan dua pelajar dari Kabupaten Sampang. Dalam rekaman video berdurasi 1,21 menit itu kedua sejoli terlihat asyik memperagakan oral seks.

Dari video yang diduga direkam menggunakan ponsel tersebut, terlihat pemeran aksi porno di atas diduga siswi kelas 2 SMP dengan ciri-ciri berambut lurus sebahu. Sementara lawan mainnya, tidak begitu nampak jelas dalam gambar dan diduga merupakan siswa kelas 1 SMA Negeri.

Adapun adegan yang ditampilkan, keduanya melakukan aksi oral seks di sebuah kursi tamu. Keduanya tanpa merasa berdosa, bahkan tak jarang tertawa lepas menikmati adegan mesumnya.

"Itu (video mesum) sudah beredar luas. Wajah pelaku juga tidak asing, khususnya bagi kalangan pelajar," ujar Rosyid, salah seorang pelajar SMA di Kabupaten Sampang, Kamis (3/12/2009).

Kabar yang beredar dari mulut ke mulut, kedua pelaku yang diduga pelajar tersebut masih berstatus pacaran. Bila dilihat dari sisi pengambilan gambar mesum, besar kemungkinan dilakukan oleh siswa yang menjadi pelaku sendiri. Sebab, wajah pelaku tidak nampak.

Wakil Kepala Sekolah SMPN 2 Sampang, Mohammad Afif Sopyan, mengaku belum tahu secara pasti kalau ada video mesum yang diduga diperankan anak didiknya. Cuma, dia menerangkan kalau sejak beberapa pekan terakhir, siswi yang disebut-sebut melakukan oral seks tersebut tidak masuk sekolah. "Sampai saat ini, dia tidak masuk sekolah. Kami masih mencari tahu alasan kenapa kok bolos," ujarnya.

Hal yang sama juga terlontar dari pihak SMAN 1 Sampang, yang siswanya diduga terlibat dalam aksi video mesum. Secara tegas, melalui Wakil Kepala Sekolah SMAN 1 Sampang, Syaiful Hidayat, disampaikan bahwa siswa yang diduga memerakan video mesum tersebut sudah keluar.

"Tercatat sudah satu minggu ini, dia mengajukan pindah sekolah dan sudah bukan lagi menjadi murid di sini," terangnya




Artis cantik Marsha Timothy terlihat sangat mendalami perannya dalam sebuah video klip terbaru milik Hello Band, yang bercerita soal poligami. Dalam kisah video klip, pacar Fachri Albar ini menjadi salah satu korban poligami. Lalu bagaimana jika kisah itu terjadi dalam kehidupan nyata?

"Jangan sampai deh, aku nggak pernah ikhlas dipoligami, amit-amit jabang bayi deh jangan sampai dipoligami. Oleh karena itu kalau dari segi perempuan aku sangat kontra sama poligami, karena tidak ada manusia itu yang bertindak adil," kata Marsha saat ditemui di pembuatan video klip Hello Band di komplek Bukit Cinere Indah, Cinere, Depok.

Meski demikian, mantan kekasih Mario Lawalata ini mengaku sangat tertarik dengan ide cerita poligami. Apalagi dirinya memang belum pernah bermain sinetron atau menjadi model video klip dengan poligami sebagai jalan ceritanya.

"Saya lihat ceritanya menarik soal poligami, kalau bandnya aku nggak kenal banget. Aku belum pernah jadi model video klip yang bercerita tentang poligami," pungkas Marsha.

http://id.news.yahoo.com/kplg/20091204/ten-marsha-timothy-amit-amit-kalau-sampa-2e85d2d.html


PELAKSANAAN ujian nasional (UN) tahun 2010 dalam kendali M Nuh, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), terganjal keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memutuskan menolak kasasi perkara yang diajukan pemerintah. Kebijakan UN sudah masuk dalam domain yuridis.

Sebagaimana diketahui, pada  14 September 2009 MA memutuskan menolak kasasi perkara yang diajukan pemerintah dengan No 2596 K/PDT/2008. Dalam isi putusan ini, tergugat yakni Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas guru. MA melarang UN yang diselenggarakan oleh Depdiknas.


Melihat putusan itu, pemerintah tampaknya tak mau kalah dan menyerah begitu saja. Peninjauan kembali rencananya akan dilayangkan. Diskursus publik pun menjurus pada dua kutub yang berseberangan, yakni antara pilihan pelaksanaan UN dan tidak sama sekali. Di antara dua pilihan tersebut, manakah yang lebih untung? Atau ada jalan tengah yang memoderasi dua pilihan ekstrem itu? 

Problem Standardisasi

Jika pilihannya adalah peniadaan UN, restrukturisasi tak bisa dielakkan. Bukan hanya struktural tapi juga kutural. Artinya, konstruksi UN yang telanjur terpatri dalam benak siswa, guru, sekolah, bahkan masyarakat perlu diformat ulang. Bukan hal yang mudah membongkar keterlanjuran kemapanan UN dalam benak publik walau sudah membekaskan sederet luka dan peri, psikis misalnya. Ada atau tidaknya ujian pun menjadi teka-teki dan misteri.

Sebaliknya, jika peninjauan kembali pemerintah mendapat angin segar, luka sejarah bakal terulang. Rasa getir dan waswas bakal membayangi benak siswa, orang tua, guru, bahkan sekolah hingga pejabat-pejabat di pemerintah daerah. Mengikuti alur polemik mutakhir, tampaknya putusan MA kian menampar wajah pemerintah. Dukungan publik pun turut melemahkan semangat pemerintah dengan melansir sederet problem yang telah dimunculkan ujian itu di tahun-tahun sebelumnya.

Polemik yuridis ini tentu menjadi batu ganjalan rencana realisasi ujian nasional yang aturan-aturannya sudah dipersiapkan secara matang. Pemerintah melalui BNSP tengah melakukan sosialisasi di beberapa daerah terkait perombakan tata aturan ujian.

Di antara perubahan pola ujian  seperti semua siswa SMA/MA akan mengikuti ujian silang siswa antarsekolah, diberlakukannya ujian ulang bagi yang tidak lulus dan ada juga ujian susulan bagi siswa yang tidak bisa mengikuti ujian utama karena sakit. 

Pelaksanaan ujian pun akan dipercepat. Ujian utama untuk SMA/MA akan dilaksanakan minggu ke-3 Maret dan SMP/MTs minggu ke-4 Maret, ujian susulan digelar minggu ke-4 Maret dan SMP/MTs minggu ke-1 April.

Sedangkan bagi siswa yang tidak lulus ujian utama atau susulan dapat mengikuti ujian ulangan, yakni SMA/MA di minggu ke-2 Mei 2010 dan SMP/MTs minggu ke- 3 Mei 2010. Aturan tersebut berdasarkan Permendiknas Nomor 75/2009 tentang ujian nasional SMP/MTs/SMPLB/- SMA/MA/SMALB.

Adalah benar kata MA dalam putusannya dan sementara kalangan yang menilai ujian itu tidak patut karena belum meratanya kualitas pendidikan. Bicara standardisasi kualitas pendidikan berarti menyangkut standarisasi kualitas guru. Kualitas guru tak elak tergantung sejauhmana pemenuhan pemerataan insfrastruktur pendidikan.

Problem standardisasi itulah yang kemudian dibaca menjadi faktor munculnya genjala disorientasi ujian yang cukup masif. Kalau pun toh pemerintah sudah berinisiatif  menggelontorkan aturan yang diyakini menjadi jembatan emas problem yang dimunculkan ujian, tak lebih dari tambal sulam yang mudah koyak atau sobek.

Baju, gaya dan mode memang baru, tapi isi dan susbtansi aturan tersebut tidak beranjak dari karakternya yang birokratis-sentralistik. Aspek desentralisasi, demokratisasi dan spirit pemberdayaan masih terabaikan.  

Bila mekanisme hukum formal sesuai keputusan MA dipaksakan dalam kebijakan alias UN ditiadakan, dampaknya yang ditimbulkan tidaklah sedikit. Oleh karenanya perlu ada mekanisme dan prosedural moral tanpa terlepas dari amanat putusan MA dan kritik masyarakat. Tentu semua tidak ingin menutup mata dari hiruk-pikuk persiapan siswa, guru, sekolah dan orang tua dalam menyambut ujian tersebut.

Pada konteks ini, keterlambatan putusan MA juga menjadi problem tersendiri. Sebab, jika jauh-jauh hari putusan itu diwartakan, penyesuaian sikap terhadap ujian akan lebih bijak dan arif. Akan lebih menjadi teka-teki dan misterius lagi jika ketidakjelasan ujian itu menunggu peninjauan kembali pemerintah.

Sepakat atau tidak, meniadakan ujian tahun ini sama saja merupakan pilihan radikal yang berpeluang merenggangkan relasi pemerintah, MA, dan masyarakat yang bukan tidak mungkin merembet pada ranah lainnya.

Persoalan ujian nasional seyogianya tetap dijalur kebijakan pendidikan yang tidak disusupi kepentingan-kepentingan politis. Masyarakat, lembaga MA, dan pemerintah dituntut mengawal dalam koridor netraliats dan kemuliaan pendidikan tanpa harus digiring ke ranah politik.

Opsi yang dirasa rasional untuk dikedepankan adalah terus mengawal dan menghantar ujian. Sebab, UN bukan kali pertama atau kedua. Keterlanjuran ujian yang sudah dalam posisi mapan dengan segala perangkat atau sistem yang ada sulit dihilangkan hanya dengan waktu beberapa jam, melalui putusan MA. Artinya perlu penyesuaian dan perlu ada tenggat waktu dalam menggulirkan putusan MA tersebut.

Lebih tepatnya, penulis memberi istilah dengan UN bersyarat. Kesempatan penyelengaraan UN diberikan kepada pemerintah sekali lagi dengan catatan agar dosa-dosa UN tidak terulang lagi. Bila dalam kesempatan ini UN tetap menyisakan persoalan, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menyelenggarakannya.

Bagaimana pun, ujian penting sebagai wahana kompetensi, kompetisi dan pembuktian terus menerus akan kualitas dan mutu pendidikan. Hanya saja ujian bukanlah satu-satunya variabel penentu pendidikan. Penyelenggaraan ujian disyaratkan terlebih dahulu adanya pemerataan dan keadilan kualitas pendidikan.

 Jika syarat-syarat itu tidak dipenuhi, pilihan bijak adalah UN bersyarat atau tidak sama sekali hingga Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas, dan BSNP memenuhi kebutuhan HAM di bidang pendidikan serta meningkatkan kualitas guru. (10)               

â€" Nur Aisyah, alumnus Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Wacana Suara Merdeka 4 Desember 2009


Diperkirakan sekitar 25 persen dari 239 wanita (59 orang) pekerja seks komersial (PSK) di Kota Sukabumi, Jawa Barat, berasal dari kalangan pelajar yang disebabkan keinginan hidup mewah.

"Dulu penyebab para pelajar menjadi PSK karena faktor ekonomi. Namun kini alasannyamulai bergeser ingin bergaya hidup mewah," kata Koordinator Lapangan (Korlap) Gerakan Penanggulangan Narkoba dan AIDS (GPNA), Den Huri kepada antara di Sukabumi.

Menurut Huri, para pelajar yang kurang mampu tergiur melihat temannya yang memiliki barang mewah, seperti telepon seluler (ponsel) dan lainnya, sehingga mereka rela jadi PSK.

"Mereka jadi PSK secara sembunyi-sembunyi dengan cara dipanggil melalui ponsel. Mereka tidak menjajakan diri secara terbuka seperti PSK lainnya."

Berdasarkan data GPNA jumlah PSK di Kota Sukabumi mencapai 776, terdiri atas PSK langsung 239 orang dan PSK tidak langsung (mereka yang juga bekerja) sebanyak 537 orang.

Pekerja Seks Komersil-Masih Pelajar

"Kebanyakan PSK tidak langsung adalah mereka yang bekerja sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka menjadi PSK karena alasan ekonomi dan gaya hidup," kata Huri yang akrab disapa Deden ini.

Deden mengatakan, pihaknya telah berupaya untuk menekan jumlah PSK dengan memberi pelatihan-pelatihan bekerja sama dengan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Penanggulangan Bencana (Dinsostek dan PB) Kota Sukabumi, seperti pelatihan tata rias dan salon. "Kami juga melakukan pendidikan sebaya kepada para PSK," ujarnya.

Untuk mengatasi penularan HIV/AIDS di kalangan PSK, kata Deden, pihaknya juga telah memberi penyuluhan kepada mereka tentang bahaya HIV/AIDS sehingga mereka diminta melakukan hubungan intim dengan cara aman, seperti penggunaan kondom. Mereka juga diminta memeriksakan penyakit kelamin di Klinik Pelangi yang disediakan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Sukabumi.

Namun, sejak tiga tahun program ini berjalan, hanya 357 PSK yang mau memeriksakan diri. "Ini menunjukkan tingkat kesadaran para PSK masih rendah untuk memeriksakan kesehatannya," katanya.

Beberapa penelitian mencatat bahwa di sepanjang Jalan Raya Parung-Bogor pada tahun 2006 dari ratusan warung remang-remang, ditemukan 236 anak-anak di bawah 18 tahun yang menjadi pelayan sekaligus dapat bertransaksi seksual.

Sebanyak 60 persen mengaku masih bersekolah di sekitar Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan Tangerang. Saat ini pun di sekitar Tegalrotan, Bintaro, pada malam hari terdapat anak-anak di antara para PSK. Tetapi pemerintah setempat seolah membiarkan hal ini terus berlangsung sampai sekarang.


Suatu kali, Kanjeng Nabi SAW ditanya oleh seorang buta, apakah ia harus tetap berjamaah ke masjid ketika mendengar azan. Kanjeng Nabi SAW mengiyakannya. Dari sini, Islam tidak membedakan kewajiban antara muslim difabel (people with different ability) dan muslim normal lainnya.
Kanjeng Nabi memberikan berbagai keringanan salat tatkala dalam perjalanan, hujan ataupun sakit, namun tidak ada kompensasi khusus kepada sahabat yang buta. Paling-paling muslim difabel akan diqiyaskan kepada kondisi sakit atau darurat.



Islam tidak terjebak kepada kontruksi cacat dan normal. Tidak ada kontruksi fikih khusus tentang muslim difabel. Kontruksi fikih Islam memandang manusia dalam satu kontruksi fisik yang sama. Tidak ada dispensasi yang khusus. Mungkin saja, kita bisa berdebat bahwa tidak ada ahli fikih yang difabel, sehingga kontruksi fikih bagi muslim difabel terlupakan. Seperti tuduhan feminis liberal bahwa fikih semata dibentuk laki-laki, sehingga meletakkan kuasa laki-laki atas perempuan. Laki-laki menjadi subjek, perempuan semata objek.
Namun, diakui atau tidak, sulit menemukan teks-teks khusus bagi muslim difabel. Paling-paling, kita akan memperdebatkan teks-teks umum yang multitafisir. Namun, ketiadaan kontruksi fikih yang diskriminatif ini menunjukkan sifat emansipatif Islam terhadap muslim difabel. Islam menutup rapat-rapat, para difabel untuk bertindak apologis dan meminta dikasihani. Para difabel harus tetap bekerja mencari nafkah. Islam mendorong pemberdayaan penyandang difabel.
Seperti diungkapkan Tandon, “the force of change is inside oneself; outsiders can only provide ’enabling conditions’.” Penyandang cacat sendirilah yang harus bangkit dan mempunyai keinginan kuat untuk berkembang; tidak hanya berdiam diri menunggu bantuan.
Maka, aksesibilitas kaum difabel inilah yang harus diperhatikan. Seperti dalam konteks masjid di atas. Kanjeng Nabi SAW memerintahkan seorang buta agar tetap ke masjid maka masjid wajib memberikan aksesibilitas bagi para kaum difabel, bukan semata tuna netra, namun juga tuna rungu, tuna grahita dan tuna daksa. Kenyataannya, diskriminasi terjadi di masjid-masjid raya. Untuk masuk masjid, kita harus menaiki tangga yang berpuluh-puluh. Demikian pula, tempat wudu yang diletakkan di lantai bawah mengharuskan kita menuruni tangga yang banyak pula. Kaum difabel seringkali ditolak masuk masjid secara tidak langsung. Umat Islam gagal menangkap pesan sosial dalam memahami hadis tersebut.
Pesan kesetaraan inilah yang jelas ditunjukkan dalam awal surat Abasa ayat 1-3. Kala itu, Nabi SAW bermuka masam terhadap Abdullah ibn Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta, tatkala Nabi sedang berbicara dengan tokoh-tokoh Quraisy. Kanjeng Nabi SAW ditegur oleh Allah SWT bahwa kaum difabel memiliki hak bicara yang sama untuk diperdengarkan tanpa adanya diskriminasi.
Kaum difabel tidak mendapat dispensasi khusus dalam fikih Islam maka kewajiban umat beragama tidak mendiskriminasi kaum difabel dalam seluruh bidang kehidupan. Terutama dalam akses pendidikan dan pekerjaan formal. Agama harus melindungi kaum difabel dari upaya pemarginalan peran.
Aksesibilitas peran inilah yang juga didorong oleh Declaration on the Rights of Disabled Persons. Deklarasi itu menyebutkan kaum difabel sebagai “means any person unable to ensure by himself or herself, wholly or partly, the necessities of a normal individual and/or social life, as a result of deficiency, either congenital or not, in his or her physical or mental capabilities.
Menurut data PBB, diperkirakan 3% penduduk Indonesia mengalami cacat bawaan fisik. Terlebih dengan berbagai bencana yang melanda, yang diperkirakan menyumbang 20.000 difabel baru. Jumlah yang cukup banyak dan akan menjadi beban sosial dan negara bila tidak diberdayakan. Kaum difabel juga harus mendapat doktrin agama yang benar bahwa mereka tetap wajib bekerjam tidak boleh menggantungkan diri kepada lingkungan sosialnya. Agama menolak kaum difabel menjadi anak manja, pemalas dan berputus asa.
Gus Dur patut menjadi teladan bagi kaum difabel, sebagaimana Megawati menjadi teladan bagi emansipasi kaum perempuan. Kaum difabel mampu menjadi presiden, pimpinan politik, pimpinan agama, penulis dan intelektual nomor wahid di negeri ini. Walaupun tokoh sekaliber Gus Dur banyak mengalami diskriminasi semata kondisi penglihatannya yang tidak sempurna. Gus Dur dihambat menjadi calon presiden. Bahkan, seorang tokoh agama menghina Gus Dur sebagai ”buta hati” semata karena buta matanya. Karena Gus Dur tidak melihat, kemudian didiskreditkan pasti tidak tahu. Padahal, Gus Dur masih mampu mendengar beragam informasi dan wacana.
Kasus Gus Dur merupakan contoh nyata kejahatan struktural terjadi terhadap kaum difabel di negara ini. Gus Dur menjadi simbol perlawanan struktural dan sosial kaum difabel. Diakui atau tidak, Gus Dur seringkali dihina karena buta. Bahkan di berbagai universitas yang seharusnya menjadi pilar bagi pemberdayaan kaum difabel, ternyata terjebak kepada stigma yang menyudutkan kaum difabel. Kalimat ”tidak mempunyai cacat tubuh atau ketunaan yang dapat mengganggu kelancaran belajar pada program studi pilihannya” sering menghambat kaum difabel masuk berbagai universitas ternama.
Tuhan telah menegaskan laqod kholaqna al-insana fii ahsani taqwim. Manusia adalah produk terbaik Tuhan walapun ia cacat. Tuhan tidak memberikan dispensasi khusus. Agama menuntut kaum difabel memberdayakan dirinya, bukan menjadi beban sosial, menjadi pengemis di jalan-jalan. Maka, agama harus mendorong misi profetiknya kepada kaum difabel. Manusia beragama harus berbagi akses dan pemberdayaan kepada kaum difabel. Mereka harus diberikan hak berperan dalam kehidupan. Bila tidak kita termasuk umat yang mustakbirun fi al-ardh.
Dan kunci dari seluruh pemberdayaan itu adalah akses pendidikan formal bagi kaum difabel yang harus diperluas tanpa diskriminasi. Kita butuh universitas yang memiliki aksesibilitas nyata bagai kaum difabel. -
Oleh : Arif Amani, Pengajar Pesantren Nurul Hikmah Karanganyar
Opini Solo Pos 3 Desember 2009


Sudah lama sebenarnya makelar kasus (markus) bercokol di negeri ini. Markus menjadi bagian dari mafia peradilan yang menggerogoti rasa keadilan dan menghancurkan sistem peradilan.

Namun baru belakangan keberadaan markus mengusik banyak orang. Sampai-sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun merasa gerah dan bertekad memberantas markus dan mafia peradilan. Tentunya tak mudah mengganyangnya. Sebab, bagi sebagian besar oknum pejabat penegak hukum, markus adalah sebuah solusi di tengah berbagai keterbatasan gaji, operasional, dan gaya hidup modern. Seorang wartawan bertanya kepada saya, apa indikasi markus sudah begitu merajalela di negeri ini? Jawabnya mudah saja.

Coba jelaskan dari mana para oknum pejabat penegak hukum di negeri ini bisa memiliki rumah mewah di kawasan mewah, dengan fasilitas mewah dan mobil mewah? Padahal gaji pokok tertinggi pegawai negeri sipil, TNI, dan Polri hanya Rp3.525.000. Kemudian ditambah tunjangan jabatan sebagai pejabat negara, tunjangan umum, uang lauk pauk, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan beras, tunjangan khusus, dan uang rapat, total penghasilan seorang pejabat tertinggi di instansi penegak hukum hanya Rp23.919.930 per bulan.

Dengan penghasilan sebesar itu per bulan, mungkinkah seorang pejabat tinggi di institusi penegak hukum mampu membeli rumah mewah berharga miliar rupiah di kawasan mewah? Gaya hidup modern yang materialistis memang sudah memusnahkan sifat kearifan di kebanyakan aparat penegak hukum. Kemewahan kerap membuat mereka gelap mata. Faktor inilah yang kemudian menjadi pintu masuk bagi para markus. Persekutuan tersebut membuat banyak oknum pejabat penegak hukum menjadi kaya raya. Dari penelusuran Indonesia Police Watch, ada delapan komponen yang memberi kontribusi hingga seorang oknum pejabat penegak hukum bisa menjadi kaya raya.

Pertama, pertemanan destruktif (teman kolusi dan umumnya pengusaha bermasalah) memberi kontribusi 31%. Kedua, markus 25%. Ketiga, setoran bawahan 15%. Keempat, pungutan liar (pungli) 15%. Kelima, manipulasi (barang bukti) 7%. Keenam, uang tanda terima kasih (dari masyarakat yang merasa dibantu) 7%. Ketujuh, honor dari luar institusi (honor seminar misalnya) hampir 0%. Kedelapan, gaji juga hampir 0%.

Darurat Keadilan

Diperdengarkannya rekaman percakapan Anggodo Widjaja di Mahkamah Konstitusi pada 3 November 2009 lalu menunjukkan betapa markus telah menguasai sistem hukum di negeri ini. Rekaman itu bukan hanya menunjukkan telah terjadinya rekayasa kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi sekaligus membuktikan bahwa Indonesia telah terjerumus dalam keadaan darurat keadilan. Keadilan diperjualbelikan.

Kaki tangan pengusaha bermasalah begitu gampang mengutak-atik pasal dan saksi-saksi agar menguntungkan perkaranya- sambil merugikan lawannya. Di lingkungan kepolisian, manuver markus pun telah membutakan mata hati, nurani, dan sikap arif aparat. Fungsi sebagai pengayom seakan tak bisa lagi diharapkan masyarakat. Tak mengherankan jika seseorang yang hanya mengisi baterai telepon seluler di lobi apartemen pun bisa dengan cepat dijebloskan ke sel tahanan. Tak mengherankan jika seorang nenek yang hanya mencuri tiga buah cokelat bisa dengan cepat diseret ke meja pengadilan. Tak ada lagi sikap arif aparat kepolisian untuk mendamaikan kasus kecil seperti ini secara kekeluargaan.

Mata hati aparat polisi seperti sudah buta. Mereka lupa bahwa salah satu fungsinya sebagai polisi adalah pengayom masyarakat. Masih terlalu banyak kasus besar yang harus ditangani dibandingkan kasus pencurian tiga buah cokelat. Sebaliknya, sangat sulit bagi aparat kepolisian untuk menjerat Anggodo. Markus telah merusak sistem keadilan dan kepastian hukum. Ironisnya, pemerintah tidak pernah berdaya menghadapi aksi-aksi komplotan markus ini. Kuatnya keberadaan markus ini tentulah tidak berdiri sendiri. Selain gaya hidup modern seperti yang diungkapkan di atas, berbagai kelemahan dalam sistem hukum di negeri ini juga menjadi peluang bagi berkembang biaknya markus di lingkungan kepolisian.

Tidak diaturnya batas waktu penyidikan oleh kepolisian di dalam undang-undang membuat masyarakat yang beperkara menjadi terombang-ambing tanpa kepastian hingga cenderung menjadikan markus sebagai solusi. Di sisi lain, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi peluang yang sangat besar bagi kewenangan aparat kepolisian. Dalam hal menahan seseorang, misalnya, tolok ukurnya hanya polisi sebagai penyidik.

Tidak ada pembanding, seperti hakim wilayah, yang ikut menelaah, apakah pasal-pasal yang digunakan polisi untuk menahan orang tersebut sudah tepat atau tidak. Diskresi polisi yang begitu besar berjalan tanpa kontrol yang ketat, sehingga penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oknum kepolisian meluas, di antaranya bersekutu dengan markus.

Apalagi yang menjadi markus umumnya adalah kerabat aparat, teman dekat aparat, oknum pengacara, dan mantan atasan aparat, persekutuan pun makin solid. Markus makin mendapatkan tempat istimewa di lingkungan kepolisian tatkala gaji dan biaya operasional kepolisian sangat minim. Situasi ini diperparah lagi dengan adanya sikap atasan yang senantiasa minta dilayani. Budaya setoran juga menjadi faktor hingga markus menjadi sebuah solusi.

Lembaga Kontrol

MK telah memutar rekaman percakapan Anggodo yang membuktikan keberadaan markus, kemudian muncul pula tekad Presiden SBY untuk memberantas markus maupun mafia peradilan. Pertanyaannya, mampukan SBY mewujudkan tekadnya, mengingat markus adalah sebuah kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup modern oknum aparat dan merupakan solusi di tengah-tengah berbagai keterbatasan gaji serta biaya operasional? Kita memang tak pantas pesimistis untuk sesuatu yang positif. Namun terlalu banyak yang harus dibenahi jika memang benar-benar ingin memberantas markus. Pembenahan tersebut harus konsisten dan berkomitmen tinggi.

Yang menjadi prioritas utama dalam pembenahan itu adalah bagaimana mewujudkan lembaga kontrol yang kuat, baik di internal maupun eksternal kepolisian. Kemudian Polri memang perlu dipimpin oleh perwira yang mempunyai integritas, berkomitmen tinggi, dan bermoral. Tanpa itu jangan harap markus bisa musnah dari lingkungan kepolisian.(*)

Neta S Pane
Ketua Presidium Indonesia Police Watch 

Opini Okezone 3 November 2009



Pengurus DPP Partai Golkar membantah kabar Golkar mendukung hak angket Bank Century dengan tujuan untuk menghantam Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kabar itu fitnah.

"Beliau tidak ada ada sedikit pun untuk dendam dan kecewa dengan Ibu Sri Mulyani yang oleh sebagian pers diributkan itu," kata Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

Sri Mulyani, yang juga menjabat Ketua KSSK disebut sebagian pihak terlibat dalam skandal Century yang menyedot uang negara Rp 6,7 triliun. Namun, Sri Mulyani telah membantah terlibat dan sudah menjelaskan peran KSSK secara gamblang kepada pers.

Sebelumnya beredar kabar kebijakan Sri Mulyani yang tidak berpihak pada saham-saham Bakrie membuat Aburizal Bakrie, sekarang ketua umum Golkar, berang karena harga sahamnya anjlok.

Priyo menegaskan bantahan ini berdasarkan pembicaraan terakhir dirinya dan Aburizal. "Pak Ical tidak ada kabar sedikit pun untuk menghantam Ibu Sri Mulyani," kata dia.

Priyo juga membantah kasus Century ini menjadi alat tawar menawar antara Aburizal dan Sri Mulyani terkait dengan pembelian saham di suatu perusahaan.

"Saya tegaskan dalam pembicaraan saya terakhir dengan ketua umum? Aburizal, kami kemukakan bahwa tidak ada deal apa pun, tidak ada tukar guling apa pun dan tawar menawar apa pun untuk permasalahan ini," tegas

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/