Pasti anda paling sebel dan menjengkelkan kalo komputer atau laptop anda kena virus , trojan , spyware dan teman2nya yang laen yang bikin strees bahkan sakit hati sebenernya masalah itu semua bisa teratasi apabila anda memiliki antivirus yang tangguh. nah di sini saya akan menjelaskan sebenernya apa sih 2 antivirus terbaik itu.

sebelumnya saya sudah memakai antivirus seperti Avg , Norton , Symantec,Panda Titanium Antivirus , Bit Defender , Pcmav , Avast. tapi yang di dapatkan hanyalah rasa yg kecewa karena tetap saja antivirus tersebut mengalamani kebocoran bahkan Bit Devender yang Masuk Top Rangking antivirus dunia tetep saja kebobolan sistemnya. akhirnya setelah hunting dan mencari info pilihan saya jatuh kepada Avira antivirus (mo yang free atupun yg pro sama saja cuma fiturnya lebih lengkap yg Premium) dan Smadav saya sudah pake ke dua antivirus ini hampir Satu Tahun dan telah terdeteksi 1500 virus dan 500 registry serta 1400 hidden file di komputer saya dan itu semua kembali aman serta filenya tidak corupt setelah di scan.malah saya pernah lupa untuk mengupdate virus definition dari avira selama 2 bulan y walapun setelah di scan terdapat virus hampir 50 tapi itu gak bikin komputer lemah ataupun blue screen!

Apabila anda sudah bingung atau merasa jengkel dengan virus maka uninstal lah antivirus yang terinstal di komputer anda dan segera lah beralih menggunakan Smadav Dan Avira Antivirus Dijamin Komputer anda Tidak akan mengalami kerusakan ataupun di ganggu oleh VIRUS DKK


Oleh: Laode Ida

''...democracies and the costly electoral cycles associated with them are fertile ground for political corruption. While in office, the political leadership and legislators, dependent on external sources of funding and their re-election campaigns, tend to be influenced by pressure groups'' (S. Guhon, 1997).

Substansi pernyataan praktisi birokrasi India, S. Guhon, tersebut tampaknya bisa dijadikan rujukan utama untuk menjelaskan praktik korupsi di Indonesia yang terjadi demikian marak dan merebak serta menjadi bagian dari ''budaya'' di semua lini dan level. Demokrasi ternyata membuka ruang lebar bagi para koruptor untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia dalam brankas negara yang selalu terkait dengan praktik politik biaya tinggi.

Peran politisi yang demikian dominan -mereka tidak hanya bermain di arena pengambilan kebijakan, melainkan juga di jajaran eksekutif-, tampaknya menjadi problem krusial dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Mengapa?

Pertama, umumnya parpol dan politisi kita boleh dikatakan nir-ideologi, lebih berorientasi pragmatis ke arah dua subjek yang saling terkait: jabatan atau kekuasaan dan materi. Saat menjabat sungguh-sungguh dinikmati dengan memanfaatkan segala peluang dan sumber yang tersedia untuk mengakumulasi harta, termasuk mengembalikan berbagai biaya yang telah dihabiskan dalam proses-proses kontestasi untuk memperoleh jabatan.

Kecenderungan sikap dan sifat serakah seperti itulah yang kemudian membuat jabatan dan kekuasaan disalahgunakan. Uang negara yang merupakan bagian dari harta rakyat dirampas atau dirampok dengan tidak henti-henti dan tak bosan-bosannya.

Korupsi biasanya dilakukan secara bersama-sama, baik bersama aparat di lingkungan kerjanya maupun dengan jaringannya di luar struktur formal. Padahal, para pejabat itu, baik dari kalangan politisi maupun profesional dan karir, sebenarnya sudah memperoleh fasilitas atau kompensasi yang jauh lebih baik daripada rakyat.

Kedua, kalau mau jujur, kalangan parpol tidak memiliki sumber pendanaan tetap dan pasti untuk menjalankan seluruh agendanya. Kecuali parpol-parpol yang sudah mapan yang sebagian sumber dananya diperoleh dari setoran para anggota legislatifnya (juga rutin dari APBN), umumnya parpol tidak bisa mengandalkan kontribusi pendanaan dari rakyat yang diklaim sebagai anggotanya.

Fenomena tersebut menjadi konsekuensi bagi rakyat yang merasa belum memiliki keterikatan moral-politik dan batin dengan parpol dan atau politisi. Sebab, politisi menjalankan agendanya yang tidak hanya jauh dari kepentingan rakyat, melainkan juga kerap berlawanan dengan tuntutan rakyat.

Kecenderungan yang sama terjadi pada politisi. Kecuali mereka yang secara ekonomi sudah mapan (biasanya dari kalangan pengusaha) yang bisa membiayai semua keperluannya untuk ikut kontes perebutan kursi atau jabatan, umumnya masih memerlukan topangan pendanaan dari sumber-sumber di luar dirinya yang notabene tidak gratis. Para pendana politik, yang biasanya dari kalangan pengusaha atau pemilik modal, pastilah mengharapkan imbalan dari pihak yang dibiayai saat menduduki jabatan tertentu.

Parahnya, proses-proses perencanaan, implementasi, dan atau eksekusi anggaran negara masih demikian tertutup alias tidak transparan. Itu merupakan kondisi yang sangat memudahkan untuk dimainkan. Tender-tender proyek memang dilakukan dengan lebih dulu diumumkan ke publik melalui media massa, namun sesungguhnya tidak lebih sebagai formalitas belaka. Sang pemenangnya sudah dan atau bisa dengan mudah diatur oleh para pemegang administrasi proyek.

Dalam perspektif sosiologis, kecenderungan seperti itu sebenarnya sungguh membenarkan teori Karl Marx bahwa sesungguhnya negara hanyalah instrumen dari kalangan pemilik modal. Sulit diharapkan untuk benar-benar peduli pada kepentingan atau kebutuhan rakyat yang sesungguhnya.

Kondisi seperti itu memberi petunjuk jelas bahwa harta negara dan rakyat bangsa ini sungguh digerogoti oleh sekelompok elite yang terdiri atas pejabat dan jejaringnya. Mereka menjadi pengendali utama negara ini. Rakyat pun tak bisa protes, tidak boleh marah. Sebab, secara hukum atau konstitusi, para pejabat itu sudah memperoleh mandat melalui proses-proses demokrasi atau pemilihan langsung.

Kecenderungan seperti itu, pada tingkat tertentu, akan melahirkan sikap skeptis masyarakat terhadap demokrasi. Seolah-olah demokrasi itu jahat. Atau, setidaknya ''demokrasi untuk demokrasi itu sendiri'', yakni yang selalu menjadi pemenangnya adalah kekuatan pemilik modal dan politik yang minus ideologi.

Padahal, sesungguhnya tidak seperti itu. Filosofi demokrasi adalah menjadikan hak-hak individu bisa terekspresi dan sekaligus semua pihak yang memperoleh mandat sebagai pejabat birokrasi dan politik harus berorientasi serta tunduk pada agenda penciptaan kesejahteraan rakyat.

Mereka tidak diberi mandat untuk berkorupsi atau bentuk-bentuk lain pengangkangan terhadap hak-hak rakyat. Sebenarnya, pejabat mana pun yang menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga, serta kelompoknya, atas nama demokrasi, harus digilas melalui koridor hukum.

Tapi, tampaknya, kita tengah berada di atas jalan yang salah (on the wrong track) karena demokrasi tanpa desain sesuai hakikatnya itu. Kita hanya memberi ''cek kosong'' kepada politisi untuk kemudian mengisi sendiri sesuka hati. Ya, dengan cara korupsi.

*). Laode Ida, sosiolog, wakil ketua DPD; artikel ini pendapat pribadi
Opini Jawa Pos 9 Desember 2009

Foto hanya Untuk Ilustrasi

Teguh Santoso warga Gendongan, Kalikuning, Kecamatan Kalikotes tewas mengenaskan setelah sebelumnya dirawat di RSI Klaten, Selasa (8/12) pukul 11.20 WIB. Teguh mengalami pendarahan di kepala akibat dikeroyok waraga setelah tertangkap basah mencuri 2 pasang sandal.

Jenasah pengeroyokan warga tersebut ditengok Kapolres Klaten AKBP Agus Djaka Santosa didampingi Wakapolres dan para kasat. Kapolres menegaskan bahwa korban adalah residivis pencurian dengan pemberatan (curat) yang sudah sering kali berurusan dengan polisi.

Peristiwa tragis itu terjadi saat Teguh menyatroni rumah Supriyadi (37) warga Prigi Wetan, Jogosetran, Kalikotes, Selasa (8/12) pukul 01.00 WIB. Supriyadi yang berada di ruang tamu menyadari kehadiran tamu tak diundang. Dia pun mengintainya.

Ketika melihat Teguh mencuri sandal, dia pun langsung diteriaki maling sehingga warga langsung berdatangan. Pelakupun berhasil tertangkap dan dihajar. Setelah tidak berdaya pelaku ditinggalkan begitu saja.

Rencananya, jenasah akan dikirim ke Labfor UNS di Solo. Polisi masih mengembangkan kasus itu untuk mencari pelaku pengeroyokan. Barang bukti berupa 2 pasang sandal merek Prodano dan Sky Way yang dicuri, serta sepeda ontel milik Teguh diamankan polisi.

Diduga pria itu tewas karena mengalami pendarahan di kepala bagian belakang, karena terdapat luka robek sedalam 3 cm. Pelipis kiri luka 3 cm, pipi kiri bengkak dan memar.


Sang dedengkot demokrasi, Plato dan Aristoteles, mungkin akan terkejut tatkala menyaksikan potret demokrasi di Tanah Air belakangan ini. Pasalnya, itu terjadi berangkat dari ketidakmampuan elite politik bangsa dalam membungkus pengenalan demokrasi secara bertanggung jawab. Ternyata penegasan demokrasi sebagai salah satu yang terbaik dari sistem pemerintahan lainnya dilunturi kultur ekslusivisme kekuasaan yang superior memainkan demokrasi di kotak bebas tafsir.


Konsekuensi akhir-akhir ini, konstelasi hukum nasional kian pucat tafsir dimonopoli para kaum idilis yang demikian ngotot melumat nilai-nilai kejujuran dan akuntabilitas demi kepentingan diri dan kroninya (Salmi, Violence and Democratic Society, 2005). Afirmasi hukum sebagai penyangga vitalitas demokrasi seakan terjun bebas ke dalam lembah impunitas pembelaan diri seraya mengundang simpati klise sekaligus demi mencari selamat dari penghakiman sejati rakyat. Apologi itu sesungguhnya kristalisasi dari impotensi kinerja politik kenegaraan secara keseluruhan yang kehilangan energi dan tujuan. Selain sebagai sinyal awal dari masivitas korupsi yang mengakomodasi keserakahan para maniak kekuasaan negeri ini pada klimaks patologis yang membahayakan (Arghiros, 2001), seperti power tend to corrupt-nya Lord Acton.
Meski demokrasi mondial sejatinya untuk 'menyembah' kepentingan rakyat (Wolin, 2008), dalam demokrasi kita, rakyat seakan dipaksa sistem untuk menyembah penguasa dalam kepasifan. Pemilu 2009 selain menenggerkan Indonesia di tampuk penghelat prosesual demokrasi dunia, ia sekaligus menyodorkan suatu ironi politik penuh distortif. Di atas sokongan legitimasi politik SBY-Boediono yang kuat (menang dengan 60% di satu putaran dengan menghisap 70% dukungan di DPR) terbangun rekaman representasi politik yang rapuh. Kasus Bibit-Chandra dan Century membuat kita harus mempertanyakan kembali autentisitas kelembagaan demokrasi hingga di tahun ke-11 reformasi. Persis di sini esensi rakyat dalam implementasi demokrasi diuji.
Tegasnya, apakah dengan pengukuhan pemilu langsung rakyat sudah menikmati berkah politik atau justru hanya menjadi penyembah ritualitas demokrasi yang didesain tidak bagi pemenuhan tujuan pemenangan hak dan kedaulatan rakyat. Elegi nenek tua Mina, dan tiga buah kakao di pengadilan Purwokerto atau peristiwa di Deli Serdang, Sumut, yakni maling pencuri ban mobil diikat layaknya binatang dan babak belur dipukuli hingga nyaris tewas oleh massa (20/11/2009) adalah representasi rakyat korban penyembahan politik yang dipaksakan. Ibarat rakyat digiring dengan tangan terikat ke dalam terowongan gelap guna menunggu takdir apa yang digariskan penguasa kepadanya. Rakyat tidak berdaya.

Kalau mau jujur, ketahanan politik rakyat mengikuti ritme demokrasi day-to-day politic (pemilihan presiden, pemilihan gubernur, wali kota/bupati) sudah hampir menipis. Di tengah menggegasnya irama demokrasi yang serba superfisial (lebih menonjolkan prestise, formalitas, dan pementasan kulit luar) kutub kemiskinan malah terus terpelihara, ketidakadilan kian meruyak, menghantui orang-orang seperti Pak Tanjung (yang dituduh mencuri listrik di apartemennya). Demokrasi masih gagal mengatasi kembang-kempisnya hidup rakyat. Dengan kata lain, demokrasi yang terpraktikkan selama ini hanya merupakan wujud ekskursionalitas politik yang menjual mimpi dan hobi-hobi petualangan atas nama kebebasan berpolitik di atas 'kebodohan rakyat'. Padahal itu sebuah langkah mundur yang menurut Sheldon S Wolin (2008) dalam bukunya, Democracy Incorporated: Managed Democracy and the Spectre of Inverted Totalitarianisme, bisa menjerumuskan bangsa ini ke dalam liang lahat totalitarianisme baru.
S Rengasamy (2008) dalam buku Understanding Social Action pernah mengingatkan jika gerakan sosial–politik rakyat lekas berubah menjadi fundamentalisme liar sekadar untuk melawan berbagai intrik dan propaganda penguasa, nilai-nilai demokrasi tidak akan pernah lagi dapat terkawal hingga menimbulkan kaos sosial yang parah. Ini adalah kritik kesadaran bagaimana mekanisme politik kita selama ini diperjuangkan dalam genggaman visi dan kepatutan moral yang rapuh (Budi Hardiman: 2009). Gerakan massa akhir-akhir ini yang memilih turun ke jalan sebagai wujud pengungkapan street of democracy, sebagaimana keprihatinan Giorgio Agamben (2005) dalam State of Exception mestinya harus dipandang sebagai aksi sadar penolakan dan ketidakpercayaan publik terhadap performa buruk institusi formal kekuasaan. Oleh karena itu, tidak harus dilihat sebagai gerakan konspiratif murni yang bisa membahayakan kewibawaan negara.

Ada dua alasan di sini. Pertama, kalau memang benar negara ini memiliki basis legitimasi kepemimpinan yang kooperatif terhadap iklim demokrasi, mestinya ekspresi dan pendapat rakyat patut dilembagakan sebagai bagian dari opini dan kebijakan pemerintah. Bukankah semuanya juga berawal dari karut marut konstelasi hukum dan politik kita. Jika rakyat marah ketika dia ditipu, saat hak-haknya diinjak, hanya sebuah kebodohan yang ditampilkan manakala pemerintah masih juga berjibaku dengan apologi, argumen, dan tesis-tesis yang amat reaktif dan lemah terhadap saluran alternatif pilihan rakyat. Kedua, hal yang ditakutkan seperti pemberontakan atau pun revolusi justru menjadi kenyataan ketika ruang-ruang tafsir kebijakan pemerintah selalu ditutup rapat bagi masuknya alternatif pemikiran populis.
Maka kegegabahan politik yang sensitif-reaksioner tak perlu ada kalau elite bangsa ini memiliki simpul kepedulian yang kuat terhadap eksistensi rakyat. Mestinya pemerintah bersyukur saat jalan panjang pergulatan demokrasi menemukan transformasi kreatifnya meskipun ia lahir dari suatu kredo yang menegaskan watak asli pemerintah itu sendiri. Shihao Chong (2009) dalam tulisannya Social Media and Social Movements in Contentious Politics: Understanding New Movements in Iran and Egypt, bahkan melansir bagaimana sebuah kekuatan dan eleganitas kekuasaan dapat dikonstruksi dalam komunikasi dengan menggunakan opini-opini maya sebagai media interaksi deliberatif yang membangun nilai-nilai kepercayaan, keterbukaan, dan peradaban suatu masyarakat.

Harus diakui demokrasi politik dan hukum tak bisa berkembang hanya dengan mengetahui ce qui est, sesuatu yang (sudah) ada, tanpa bersedia mengeksplorasikan esensi keadilan, solidaritas, dan kesetiakawanan sosial dalam setiap deretan bahasa dan pasang-surut pergulatan hidup rakyat. Orasi-orasi janji elite politik selama ini yang notabene miskin inspiratif dan spirit justru hanya akan menajamkan ketidakpastian bangsa ini berhadapan dengan berbagai kecurigaan, pembenaran diri, dan promiskuitas politik dalam komunitas kekuasaan kita. Bahkan Dorothea Rosa Herliany dalam puisi Film Bisu-nya (Mudji Sutrisno, 2009) mengingatkan, kata-kata tak akan pernah jadi pisau di negeri para orator.
Itu sebabnya pemulihan demokrasi wajib bagi pembersihan politik bangsa ini demi mencapai kenegaraan yang memadai (adequate stateness). Betapa nampak hukum telah kehilangan palu sebagaimana kekuasaan telah kehilangan konstituen dan reformasi nyaris kehilangan momentumnya. Ini setidaknya mengiriskan kesadaran etis dan moral bagi pemimpin di negeri ini untuk selalu berupaya menyelamatkan hak dan kepentingan rakyat yang telah sekian lama dirampok para koruptor-koruptor politik.

Oleh Umbu TW Pariangu, Dosen Fisip Universitas Nusa Cendana, Kupang; mahasiswa pascasarjana Fisipol UGM

Opini Media Indonesia 9 Desember 2009 

PERAWAKANNYA sedang untuk ukuran orang Indonesia. Bicaranya lembut seperti kebanyakan orang Madura terdidik.

Namun siapa yang menyangka kalau Prof Dr Mahfud MD, guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, adalah orang yang selalu tepat pada jabatan yang disandangnya. Mahfud juga orang yang tahu diri, tidak mau menduduki jabatan yang ia sendiri tidak menguasainya. Contohnya ketika ditawari oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Jaksa Agung, dia menolak. Di Kabinet Persatuan Nasional masa Gus Dur, Mahfud diberi kepercayaan menduduki jabatan menteri pertahanan.

Karya monumental Mahfud sebagai menteri pertahanan adalah diundangkannya Undang-undang (UU) No 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Masa itu merupakan zaman keemasan kerja sama antara pemerintah, para akademisi, dan aktivis LSM untuk menyelesaikan UU Pertahanan Negara. Mahfud, yang tidak memiliki latar belakang di bidang pertahanan dan militer, tidak segan-segan atau malu-malu untuk bertanya kepada orang yang memahami soal itu. Saya bersama teman-teman yang tergabung dalam ProPatria, diangkat secara resmi oleh Menhan Mahfud MD untuk membantu Departemen Pertahanan RI menyelesaikan rancangan UU Pertahanan dan mengawalnya secara langsung di DPR.

Pada proses legislasi RUU Pertahanan hingga menjadi UU, kami bukan hanya berada di belakang layar, melainkan duduk bersama tim menghadapi teman-teman di Pansus RUU Pertahanan. Namun itu adalah yang pertama dan terakhir tim yang bukan berasal dari departemen duduk dan menjawab berbagai pertanyaan DPR. Setelah itu tim asistensi pemerintah hanya duduk di belakang layar. Mahfud sempat diangkat Gus Dur merangkap sebagai Menteri Kehakiman dan HAM era Gus Dur setelah Yusril Ihza Mahendra dipecat pada 8 Februari 2001.

Namun Mahfud tidak pernah efektif sebagai Menteri Kehakiman dan HAM karena setelah dilantik pada 20 Juli 2001, pada Senin, 23 Juli tahun yang sama, Gus Dur dilengserkan. Setelah mengabdikan diri sebagai anggota legislatif dari Fraksi PKB, Mahfud berpindah posisi ke Mahkamah Konstitusi. Pada pemilihan ketua Mahkamah Konstitusi yang berlangsung terbuka di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa 19 Agustus 2008, Mahfud terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2011 menggantikan ketua sebelumnya, Jimly Asshiddiqie.

Dalam pemungutan suara, Mahfud menang tipis, mendapat 5 suara sedangkan Jimly 4 suara. Secara resmi, Mahfud dilantik dan mengangkat sumpah Ketua Mahkamah Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 21 Agustus 2008. Posisinya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi ternyata menjadikan Mahfud sebagai "bintang". Betapa tidak, Mahfud inilah yang pada sidang gugatan Bibit dan Chandra atas UU KPK yang kemudian membuka kepada publik isi rekaman pembicaraan antara Anggodo Widjaja dan para pejabat di Polri dan Kejaksaan Agung yang ingin mengkriminalisasi Bibit dan Chandra serta melemahkan KPK.

Sidang MK yang disiarkan langsung oleh jaringan televisi swasta tersebut benar-benar merebut perhatian publik. Rating penyiarannya melebihi siaran langsung inaugurasi Presiden dan Wakil Presiden RI. Sidang terbuka tersebut bahkan lebih banyak penontonnya ketimbang sinetron yang ditayangkan berbagai televisi swasta di Tanah Air. Adalah Mahfud MD pula yang memberikan "fatwa" Ketua Mahkamah Konstitusi bahwa jika Kepala PPATK Yunus Husein dipanggil DPR dalam kasus aliran dana Bank Century, Yunus Husein harus bersedia mengungkapkannya kepada publik. Mahfud adalah orang yang sederhana dan berani.

Dia bersedia mempertaruhkan posisi jabatannya demi keadilan di negeri ini. Dia juga orang yang selalu mau mendengar pendapat orang lain dengan perhatian penuh. Setelah berhenti menjadi menteri pertahanan pun Mahfud bukan orang yang mengalami post power syndrome. Dengan tenang dia bawa koper sendiri di Bandara Soekarno-Hatta ketika tiba dari Yogyakarta. Dia juga seorang guru yang tidak pernah melalaikan tugasnya sebagai dosen di UII Yogyakarta dan universitas beken lain. Cirinya sebagai pendidik mungkin yang menyebabkan Mahfud harus memberi contoh bagaimana seorang pemimpin harus bertindak walau harus mempertaruhkan jabatan.

Jika Mahfud tidak memerintahkan diperdengarkannya rekaman KPK soal Anggodo Widjaja, bukan mustahil rahasia mengenai kriminalisasi KPK tersebut tak akan terungkap. Kini kotak pandora itu sudah terbuka lebar. Tentu Pansus Hak Angket DPR tidak bisa main-main dalam menangani kasus Bank Century. Kita masih menunggu, gebrakan hukum apa lagi yang akan dilakukan Mahfud dan Mahkamah Konstitusi mengenai kasus Bank Century. Jika ternyata ada tanda-tanda penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa terkait kasus aliran dana Bank Century, tentu MK, sesuai dengan aturan konstitusi kita, perlu bertindak.

Ini bukan soal jatuh menjatuhkan orang atau pejabat, melainkan begitulah aturan main demokrasi yang diatur konstitusi kita. Mahfud tentunya juga memiliki perhatian jika ternyata ada penyelewengan penerapan kasus hukum atas soal Bank Century. Kita bersyukur atas adanya tiga institusi hukum yang saling mengawasi, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Dengan begitu diharapkan hukum bisa menjadi panglima di negeri ini. Kita berharap Mahfud MD yang sudah menjadi "bintang" itu akan terus melahirkan karya-karya hukumnya yang monumental bagi negeri ini.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Opini Okezone 8 Desember 2009



TUBUH wanita bisa menjadi sebuah indikator atas tingkat inteligensinya. Bagaimana bisa?

Demikian menurut hasil penelitian para peneliti dari the University of Pittsburgh dan the University of California. Dilansir dari Genius Beauty, para peneliti melakukan kajian terhadap kecapakan mental pada lebih dari 16.000 ribu wanita.

Berseberangan dengan keyakinan umum, kajian menemukan bahwa memiliki tubuh ideal punya dampak positif terhadap inteligensi seorang wanita.

Para peneliti mengatakan, rendahnya rasio antara pinggang dan pinggul menjadi tanda tingginya tingkat IQ seorang wanita. Mereka mengaitkan temuan tersebut pada asam lemak omega-3 yang terkumpul di pinggul.

Asam lemak omega-3 adalah asam lemak terbaik yang memberi keuntungan besar pada inteligensi wanita. Selain itu, mencegah tubuh dari penyakit degeneratif dan membantu proses tumbuh sel-sel otak janin untuk kecerdasan anak.

Beberapa sumber asam lemak omega-3, adalah ikan (salmon, tuna, tenggiri), seafood (udang, kerang, kepiting), kacang-kacangan dan biji-bijian (kacang polong), sayuran (bayam, labu, brokoli), dan buah-buahan (labu, pepaya).



Pasca pengumuman yang dilakukan perusahaan raksasa,Dubai World,yang akan menunda pembayaran utang sebesar US$60 miliar hingga Mei 2010, sempat memuat bursa saham Asia melemah.Dampaknya pun terasa sampai bursa saham di Indonesia.Terutama juga pada perusahaan yang melakukan kerjasama dengan anak perusahaan Dubai world ini.Ternyata dari hasil penelusuran bahwa ada 7 anak perusaahan Dubai world di Indonesia.Perusahaan apa sajakah itu?

Pertama, Dubai Ports World menginvestasikan US$175 juta untuk membentuk perusahaan patungan (joint venture/JV) dengan PT Pelindo III, PT Terminal Petikemas Surabaya (PTS). DP World membeli 49% saham pada usaha patungan tersebut dari P&O pada 2006.

Kedua, Dubai DryDocks World melalui DryDocks World SE membentuk JV PT Batam Maritime Center. Perusahaan berinvestasi hingga US$500 juta untuk bekerja sama dengan Fabtech International Ltd yang juga perusahaan asal Dubai. DDW adalah anak usaha Dubai World. Proyek ini terhambat lebih dari dua tahun sejak nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) ditandatangani pada 10 Agustus 2007.

Ketiga, Emaar Properties PJSC menginvestasikan US$600 juta untuk mengembangkan kawasan wisata Lombok. Perseroan bekerja sama dengan Bali Tourism Development Corporation. Pada investasi tersebut, Emaar akan membangun hotel dan resor, serta perumahan berskala internasional seluas 1.250 hektare (ha).

Keempat, Emirates Telecom (Etisalat) membeli 1,13 miliar lembar setara dengan 16% saham PT Excelcomindo Pratama Tbk (EXCL) pada Desember 2007. Pembelian saham tersebut menghabiskan investasi hingga US$438 juta.

Kelima, Limitless Ltd menjadi mitra strategis PT Bakrieland Development Tbk (ELTY). Investasi perusahaan mencapai US$ 1,7 miliar untuk membangun proyek Rasuna Epicentrum di Kuningan, Jakarta.

Keenam, RAK Minerals and Metals Investment memiliki dua proyek di Tanah Air. Proyek pertama menghabiskan investasi hingga US$1,5 miliar untuk membangun Pelabuhan Tanjung Api-api. Perusahaan bekerja sama dengan Pemda Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, RMMI membangun kawasan industri.

Proyek lainnya adalah kerja sama dengan Pemda Provinsi Kalimantan Timur pada pertambangan batu bara dan pembangunan proyek rel kereta api batu bara. RMMI menginvestasikan US$ 600 juta dan bekerja sama dengan PT Kutai Timur Investama pada proyek tersebut. Penandatanganan MoU telah dilakukan pada 5th World Islamic Economic Forum 2009 di Jakarta pada 2 Maret 2009.

Ketujuh, Star Petro Energy (ETA Star/ ETA Group) menginvestasikan US$1,7 miliar untuk membentuk perusahaan patungan dengan Pertamina dan Itochu Corp, Jepang. Perusahaan patungan akan mengembangkan kapasitas produksi pada kilang pengolahan (refinery) minyak bumi di Balikpapan.

(Sumber: inilah.com)

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/