Oleh Veri Junaidi
Peneliti Hukum Konsorsium Reformasi Hukum Nasional


Pemilu kepala daerah (Pilkada) 2010 sudah semakin dekat. April mendatang Pekalongan menjadi daerah pertama yang akan melaksanakan, setelah itu akan segera menyusul 245 daerah lainnya. Paling tidak dalam 2010 nanti terdapat 7 provinsi, 204 kabupaten, dan 35 kota yang akan melaksanakan pesta demokrasi tersebut.

Menyikapi hal itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus segera melakukan persiapan khususnya terkait regulasi. KPU memiliki peran kunci dalam pelaksanaan pilkada, yang berbeda dengan pilkada sebelumnya. Pasal 9 ayat (1) UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu (UU 22/2007) memberikan tugas dan kewenangan bagi KPU untuk mempersiapkan regulasi dan kebijakan terkait pelaksanaan pilkada. Kewenangan inilah yang dalam pilkada sebelumnya tidak dimiliki KPU karena pilkada sepenuhnya menjadi tugas dan kewenangan KPU Daerah.

Kewenangan yang diberikan UU 22/2007 hendaknya segera direspons positif dan cepat oleh KPU. Mengingat regulasi dasar penyelenggaraan pilkada tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan masalah.

Regulasi pilkada dapat menyulitkan penyelenggaraan, potensi tumpang-tindih pengaturan, dan kekosongan hukum pun sangat mungkin terjadi. Misal terkait dengan pertanggungjawaban KPU provinsi/ kabupaten/kota; komposisi, jumlah, dan pengangkatan pengawas pemilu; serta beberapa ketentuan lainnya.

Bahkan, melihat perkembangan penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden lalu, banyak hal baru yang tidak terjangkau dalam pengaturan tentang pilkada. Seperti penggunaan kartu pemilih, rekapitulasi tingkat PPS, dan tata cara pemberian suara.

Pertanyaannya, apakah pilkada mendatang akan tetap mengakomodasi penggunaan kartu pemilih, rekap tingkat PPS, dan mencoblos sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) atau mengikuti perkembangan tata cara pemilihan dengan tanpa kartu pemilih, tanpa rekap tingkat PPS dan penandaan dengan cara mencontreng (centang)?

Regulasi Pilkada
Dasar penyelenggaraan pilkada mengacu pada ketentuan Bab IV Bagian Kedelapan tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 56-119 UU 32/2004. Ketentuan UU 32/2004 itu ternyata tidak mengatur secara komprehensif.

Mekanisme penundaan pilkada akibat kondisi darurat tidak terakomodasi dalam undang-undang ini. Oleh karena itu, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 3 Tahun 2005, kekurangan atas mekanisme penundaan pilkada akibat bencana, konflik, dan kerusuhan dapat tertutupi. Perppu itu kemudian diundangkan dalam UU 8/ 2005 tentang Pengundangan Perppu 3/2005 tentang Penundaan Pilkada karena Kondisi Khusus.

Peraturan teknis pelaksanaan pilkada sebagai turunan UU 32/2004, diatur dalam Peraturan Pemerintah No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Namun, kemudian undang-undang ini mengalami perubahan hingga tiga kali, menjadi Peraturan Pemerintah No 25/2007 tentang perubahan kedua dan Peraturan Pemerintah 49/2008 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah 6/2005.

Sebagai bentuk penyempurnaan dasar hukum pilkada, lahir UU 12/2008 tentang perubahan kedua atas UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang ini mengatur khusus tentang mekanisme pilkada. Hal paling penting atas undang-undang perubahan ini adalah beralihnya kewenangan penyelesaian sengketa hasil pemilu, dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi. Perkembangan selanjutnya, regulasi tentang pelaksanaan pilkada tidak hanya diatur dalam UU 32/2004 dan regulasi turunannya.

Pada 2007 lahir UU Penyelenggara Pemilu, undang-undang ini mengatur khusus tentang penyelenggara, baik tentang KPU, KPU Daerah, maupun pengawas pemilu pada semua tingkatan. UU Penyelenggara Pemilu bukan bagian (perubahan) dari UU Pemda, namun ketentuannya berlaku sebagai dasar hukum penyelenggaraan pilkada, khususnya terkait penyelenggara. Dengan demikian, terdapat dua ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggara pemilu, yaitu UU Pemda dan UU Penyelenggara Pemilu.

UU Penyelenggara Pemilu bukanlah perubahan atas UU Pemda. Namun, kedua peraturan ini memiliki substansi pengaturan yang sama, khususnya tentang penyelenggara pemilu, yaitu KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Pengawas Pemilu Provinsi dan jajaran di bawahnya. Terhadap permasalahan ini, harus dipahami bahwa dasar hukum penyelenggaraan pilkada tetap mengacu pada UU 32/2004 dan turunannya, karena ketentuan undang-undang ini belum dicabut atau diganti. Artinya, ketentuan dalam UU 32/2004 tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam UU 22/2007.

Dengan kata lain, ketentuan terkait pertanggungjawaban KPU Daerah dan keanggotaan panwaslu, baik tentang komposisi, jumlah anggota, pengangkatan, dan pertanggungjawaban KPU Daerah tidak lagi mengacu kepada ketentuan UU 32/2004, karena secara khusus telah diatur dalam UU 22/2007.

Keberanian KPU
Ketentuan tentang kartu pemilih, rekapitulasi suara tingkat desa (PPS), dan penandaan dengan cara mencoblos memerlukan keberanian KPU untuk melakukan terobosan hukum. Memang ketentuan itu merupakan perintah UU 32/2004 yang harus dijalankan, akan tetapi sudah tidak implementatif. Pascapemilihan legislatif dan presiden lalu, cara ini telah ditinggalkan dan muncul inovasi baru. Penyelenggara tingkat daerah dan lapangan pun telah terbiasa dengan cara-cara baru dalam pemilu.

Begitu juga dengan masyarakat, telah mengenal pemilihan dengan cara mencentang (centang). KPU harus berani mendesak DPR dan pemerintah melalui Mendagri agar tata cara pemilihan disesuaikan dengan perkembangan terkini. Desakan ini penting, agar DPR dan pemerintah segera mengagendakan perubahan UU 32/2004, karena kebijakan itu tidak cukup hanya diatur melalui peraturan KPU.

 Akan tetapi, untuk melakukan perubahan UU 32/2004 bukan tanpa risiko, lambatnya pembahasan dan kesepakatan politik DPR jelas menjadi faktor utama kekhawatiran tertundanya pelaksanaan pilkada di beberapa daerah.

 Atas kondisi itu, KPU sebagai pemegang kebijakan bersama DPR dan Pemerintah harus memikirkan beberapa skenario, agar pilkada lebih berkualitas. Pertama, melakukan revisi terbatas UU 32/2004 terhadap beberapa pasal terkait kartu pemilih, rekapitulasi tingkat PPS, dan ketentuan mencoblos. Jika ketiga elemen di atas dapat bersepakat, paling lambat akhir tahun ini sangat mungkin dapat terselesaikan.

Kedua, harus ada skenario adanya penundaan pilkada akibat keterlambatan revisi terbatas UU 32/2004. Jika ini terjadi, yang harus dipersiapkan adalah regulasi terkait pengisian kekosongan jabatan kepala daerah karena telah habis masa jabatan dan pejabat baru belum terpilih. Ketiga, alternatif penerbitan perppu, khususnya untuk jadwal penyelenggaraan pilkada bulan April.

Opini Republika 15 Desember 2009


Seorang Nenek berusia 68 tahun resmi menjadi wanita pemecah rekor melakukan paling banyak perkawinan sepanjang sejarah.

Linda Wolfe nama wanita tersebut telah melakukan pernikahan sebanyak 23 kali , dan pernikahan pertama yang dia lakukan, yaitu pada saat berumur 16 tahun.


Tujuh perkawinan pertamanya berjalan cukup lama, yaitu setiap masing-masing perkawinan berlangsung selama tujuh tahun. Namun dia juga pernah melakukan pernikahan yang sangat singkat yaitu hanya selama 36 jam saja.

Nama Linda saat ini telah tercantum di Guiness Book of world Records sebagai wanita yang melakukan paling banyak pernikahan.


HARI Minggu, 29 November lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang kembali menggelar Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day di ruas Jalan Pemuda. Kegiatan ini sebenarnya ditunggu-tunggu masyarakat setelah Juni lalu digelar acara serupa di Simpanglima dan Jalan Pahlawan.

Masih segar dalam ingatan, pernyataan Wali Kota Sukawi Sutarip waktu itu bahwa Car Free Day akan digelar paling tidak dua kali dalam sebulan.


Apa sebenarnya makna dan urgensi hari itu?
Hari Bebas Kendaraan Bermotor dimaksudkan untuk mengurangi beban pencemaran udara dan kemacetan dari kegiatan transportasi. Beban polutan di beberapa ruas kota Semarang sudah cukup tinggi.

Tahun 1996, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan  (Bapedal) Pusat pernah merilis hasil pantauanya dan menyimpulkan bahwa kota Semarang menempati peringkat ketiga sebagai kota dengan tingkat pencemaran udara terburuk, setelah Jakarta dan Bandung. 

Pertumbuhan kendaraan bermotor di kota ATLAS ini, menurut data 2005 mencapai 6% dengan jumlah kendaraan pribadi dan sepeda motor 77 %, dan mobil penumpang hanya 15 %. 

Beberapa parameter pencemaran udara seperti kadar CO dan PM, di ruas jalan Jalan Pandanaran, Ahmad Yani, Majapahit, Siliwangi, dan Brigjen Sudiarto telah melampaui ambang batas.
Kemacetan juga terjadi di ruas-ruas jalan tersebut ditambah dengan ruas Jalan Teuku Umar, Jalan Diponegoro terutama di ruas tanjakan Siranda.

Melihat kondisi kota kita yang demikian, Car Free Day sebenarnya merupakan hari di mana warga kota seharusnya beralih ke transportasi tidak bermotor (non motorized transport) atau beralih menggunakan kendaraan umum sebagaimana dilakukan di kota Mexico yang dikenal dengan The Day Without Car. 

Program tersebut memang melarang menggunakan kendaraan bermotor karena telah demikian parahnya pencemaran di kota itu.

Tahun 1995, Badan PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan (UNEP) memasukkan Mexico sebagai kota yang tingkat pencemaran udaranya terburuk yang diikuti oleh Bangkok dan Jakarta.


Kawasan Car Free Day memang terasa nyaman, teduh, dan damai tanpa deru kendaraan dan kemacetan. Bulan Juni lalu di Simpanglima, warga bisa leluasa bersantai menikmati udara bersih.

Kelompok-kelompok pecinta sepeda, sepatu roda, jogging, dan egrang enjoyed benar dengan ruang yang lapang, lega dan udara yang bersih.

Car Free Day di Jalan Pemuda memang tidak seramai di Simpanglima karena kawasan ini memang belum menjadi tempat berkumpulnya para warga.

Tetapi suasana nyaman, teduh dan lapang nampak terasa. Bagi komunitas sepeda dan sepatu roda, Jalan Pemuda sebenarnya lebih memadai karena lapang dan lurus.

Namun demikian, harus diakui kalau Car Free Day baru mengalihkan arus dan volume kendaraan di satu tempat ke tempat lain. Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Simpang Lima mengalihkan beban ke Jalan Sriwijaya, Kampungkali, MH Thamrin,  Ahmad Dahlan, dan Ahmad Yani.

Sedangkan program yang sama di Jalan Pemuda menjadi beban di Jalan Imam Bonjol, Pandanaran Gajahmada, dan Jalan Tanjung. Untuk mencapai tujuan substantif memang perlu waktu.
Harus Terpadu Pencanangan Hari Bebas Kendaraan Bermotor harus terpadu dengan penyediaan transportasi publik yang memadai.

Sedangkan untuk mendorong warga menggunakan alat transportasi tidak bermotor seperti sepeda atau berjalan kaki harus disertai dengan penyediaan jalur lambat dan trotoar dengan tanaman peneduh yang memadai.

Komunitas sepeda di kota Semarang sudah cukup banyak di antaranya Semarang Onthel Club (SOC), Gagak Rimang, Komunitas Ontel Bersama (Kober), dan Bike to Work.

Kelompok-kelompok ini perlu diapresiasi, difasilitasi, dan didorong agar menggunakan sepeda tidak hanya sebagai wahana penyaluran hobi tetapi juga sebagai sarana ke tempat kerja atau ke sekolah.

Upaya ini telah dirintis di Yogya yang mewadahi komunitas sepeda dengan sebutan Segosegawe (Sepeda Kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe).

Pencanangan Hari Bebas Kendaraan Bermotor sebenarnya timely karena hampir bersamaan dengan diluncurkanya sistem angkutan bus Trans Semarang.  Sambil membenahi kekurangan yang ada, rute Trans Semarang seharusnya segera diperluas sehingga bisa interkoneksi dan mampu mengangkut lebih banyak penumpang.

Moda angkutan tersebut yang nyaman dan harga tiketnya terjangkau diharapkan mampu menjadi magnet para pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke kendaraan umum.

Car Free Day juga harus disertai kebijakan untuk mendorong penggunaan kendaraan secara bersama seperti komunitas nebeng (car pool) di Jakarta, antar jemput anak  sekolah,  antar jemput karyawan kantor pemerintah dan swasta. Nampak bahwa Hari Bebas Kendaraan Bermotor bukan kegiatan yang steril dari kegiatan lain.

Spiritnya adalah mengubah budaya bertransportasi dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum dan bersama atau yang tidak bermotor. Mudah-mudahan hal itu bukan sekadar peristiwa ritual melainkan mampu memancarkan semangat memecahkan salah satu persoalan lingkungan di kota kita tercinta ini. (10)

รข€" Sudharto P Hadi, dosen manajemen lingkungan Universitas Diponegoro
Opini Suara Merdeka 15 Desember 2009


Sungguh tidak berperikemanusiaan dan sangat sadis, seorang anak yang sudah terlahir dan dibesarkan dengan susah payah serta pengorbanan akhirnya malah membunuh sang ibunda tercinta yang seharusnya dikasihi. Diduga mengalami gangguan jiwa, seorang anak memalu dan memahat Ibu kandungnya hingga tewas. Peristiwa tragis ini dialami oleh Ny. Kartina. Ia tewas dihantam palu anaknya Mustabil Rizky, 25 tahun.

Ulah anak durhakaInformasi yang dihimpun Kendari Pos menyebutkan, peristiwa terjadi setelah korban sedang menyiapkan sarapan untuk ke empat anaknya. Tiba-tiba, Rizky anak sulung korban mendatangi dan mengayunkan palu ke kepala korban hingga roboh bersimbah darah. Entah setan apa yang merasuk di kepala Rizky, ia memahat kepala ibunya yang sedang sekarat.

Ketiga adik Rizky yang masih kecil-kecil berupaya untuk menghentikan aksi brutal kakaknya. Namun tidak berhasil, justru sebaliknya RTizky semakin membabi buta. Aksi Rizky baru berhenti ketiga para tetangganya berdatangan memberikan pertolongan. Suami korban, ketika peristiwa terjadi juga sudah keluar rumah.

Ibu malang yang juga seorang PNS di Kabupaten Muna itupun tak tertolong jiwanya. Ia tewas dalam perjalanan menuju ke rumah sakit di Kendari.

Kapolres Muna AKBP Rachmat Pamudji menegaskan, pelaku telah ditangkap dan ditahan berikut barang buktinya. "Diduga pelaku mengalami gangguan jiwa, kami baru akan memeriksakan pelaku ke rumah sakit jiwa," kata Pamudji.

Para tetangga korban menyebutkan, akhir-akhir ini Rizky memang sering berperilaku aneh setelah ia gagal mengikuti ujian CPNS. Spekulasi menyebutkan, Rizky mengalami gangguan jiwa karena kecewa beberapa kali ikut ujian CPNS dan tes di kepolisian tidak pernah berhasil. (Jawapos)



Masturbasi umumnya dilakukan dengan menyentuh, mendorong, atau memijat Mr P atau klitoris hingga orgasme tercapai. Sebagian wanita juga melakukan rangsangan Miss V atau menggunakan sex toys, seperti vibrator.

Berikut seluk-beluk masturbasi seperti disingkap WebMD.

Siapa yang bermasturbasi?
Siapapun, masturbasi adalah perilaku yang sangat umum, bahkan di antara orang yang memiliki pasangan sah. Dalam satu kajian dilaporkan, sebanyak 95 persen pria dan 89 persen wanita melakukan masturbasi.

Masturbasi adalah pengalaman seksual pertama pada kebanyakan pria dan wanita. Saat usia muda, masturbasi adalah bagian normal dari eksplorasi seks. Bahkan, kebanyakan orang tetap bermasturbasi meski sudah dewasa, bahkan sebagian hingga sepanjang hidupnya.
Mengapa orang bermasturbasi?
Masturbasi adalah cara yang baik melepaskan ketegangan seksual yang bisa terjadi kapanpun, terutama untuk mereka yang belum memiliki pasangan atau saat pasangan tak ingin bercinta.

Masturbasi juga alternatif seks aman untuk orang yang ingin terhindar dari kehamilan dan bahaya penyakit kelamin menular. Masturbasi juga dibutuhkan saat pria harus memberikan sampel semen untuk tes kesubuhan.

Apakah masturbasi itu normal?
Meskipun pernah dianggap sebagai penyimpangan dan masalah mental, masturbasi kini dianggap normal, aktivitas seks sehat yang menyenangkan, memuaskan, diterima, dan aman. Masturbasi adalah cara yang baik untuk anda bisa merasakan kenikmatan seks.

Masturbasi dianggap sebuah masalah hanya jika hal ini menghalangi aktivitas seksual bersama pasangan, dilakukan di tempat umum, atau menyebabkan keadaan berbahaya pada pelakunya.

Masturbasi bisa jadi berbahaya jika dilakukan secara kompulsif/menganggu kehidupan dan aktivitas sehari-hari.

Apakah masturbasi berbahaya?
Umumnya, dunia medis mengganggap masturbasi adalah ekspresi alami dan tidak berbahaya terhadap seksualitas pria dan wanita. Masturbasi tidak menyebabkan luka fisik atau menyakiti tubuh, dan bagian dari perilaku seksual yang normal.

Sebagian ahli menegaskan, masturbasi bisa benar-benar meningkatkan kesehatan seks. Dengan mengeksplorasi tubuh lewat masturbasi, anda bisa menentukan apa yang secara erotis bisa memuaskan anda dan ini bisa anda bagi ke pasangan.

Bahkan, sebagai pasangan memanfaatkan masturbasi bersama untuk menemukan teknik-teknik hubungan seks yang lebih memuaskan dan menambah intimasi.

Meski demikian, sebagian budaya dan keyakinan menentang pemanfaatan masturbasi, bahkan memberi label "penuh dosa". Banyak pula pengakuan, masturbasi mengundang perasaan bersalah bagi pelakunya.

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/