Gonjang-ganjing mengenai penyelamatan Bank Century masih terus berlanjut, dengan segala macam teori yang barangkali membingungkan bagi khalayak ramai. Banyak yang menentang, tapi tidak sedikit juga yang mendukung keputusan bailout pemerintah dengan dalih dampak sistemik dan berbagai alasan lain.

Yang menjadi persoalan mengapa kita ini tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu, yakni kasus BLBI yang memakan biaya Rp650 triliun? Apakah para pengambil keputusan 'lupa' apa yang terjadi 10 tahun lalu, kemudian mengambil easy way out berlindung di balik krisis global 2008?


Sekarang pemerintah melalui LPS telah mengambil langkah penyelamatan (bailout) dengan menyuntikan dana segar sebanyak Rp6,7 triliun ke Bank Century dan mengambil alih seluruh kepemilikan saham. Apakah itu suatu kebijakan yang tepat? Dengan segala hormat kepada para pengambil keputusan, saya menganggap itu adalah suatu keputusan yang keliru. Bank Century sangat tidak layak untuk diselamatkan, tentu dengan sejumlah alasan.

Jika melihat komposisi neraca bank menurut audited statement 2006, 2007, 2008, khususnya difokuskan kepada periode 2007-2008, Bank Century bukanlah bank yang menjalankan fungsi pokoknya sebagai financial intermediary, menghimpun dana masyarakat untuk kemudian sebagai agent of development menyalurkan kembali dalam bentuk kredit. Dari total aset sebesar Rp10,4 triliun, pos pinjaman yang diberikan hanya Rp4 triliun (40%) termasuk di dalamnya pemberian kredit sejumlah Rp1,5 triliun lebih diberikan kepada pihak terkait atau kelompok usaha sendiri.

Di luar giro wajib minimum dan fixed assets, bank melakukan investasi berupa surat berharga efek sebanyak Rp4,3 triliun dan penempatan call money pada bank lain sebesar Rp2 triliun. Di sinilah kemudian terlihat ketidakwajaran dari instrumen investasi yang termasuk dalam kedua kelompok aset tersebut.

Pertama, termasuk di dalam kelompok surat berharga efek adalah instrumen US Treasury Strips, (separate trading of registered interest and pricipal securities) sebanyak US$177 juta. Perlu diketahui bahwa instrumen ini adalah US Treasury Bonds atau notes dengan jangka waktu 10 tahun ke atas yang telah dipisah interest coupon-nya dan dibuat menjadi instrumen yang berdiri sendiri. Atau dalam arti lain instrumen ini sama dengan zero coupon bond alias tidak menghasilkan bunga sama sekali. Adalah suatu keanehan bagi bank komersial swasta untuk melakukan investasi dalam instrumen semacam ini. Menurut laporan audit, instrumen ini dimiliki bank sejak 2006. Lebih aneh lagi jika hal ini tidak diketahui Bank Indonesia sebab hal ini tercantum dalam neraca bank. Lebih ajaib lagi jika Bank Indonesia mengetahui hal ini tapi tidak melakukan tindakan apa-apa sebab sesungguhnya ini merupakan indikasi bahwa Bank Century telah melakukan praktik bank komersial di luar kewajaran.

Sebagai catatan, sejumlah US$115 juta dari US Treasury Strips telah dijaminkan kepada Saudi National Bank Corp sesuai dengan perjanjian pada 7 Desember 2006 untuk menjamin fasilitas L/C confirmation. Sisa instrumen ini sebesar US$1 juta dipegang First Gulf Asian Holdings sebagai custodian dan US$45 juta dipegang Dredner Bank sebagai custodian.

Kedua, termasuk di dalam kelompok surat berharga efek ini adalah medium term notes dengan total US$209 juta (setara dengan Rp1,9 miliar). Terdiri dari Credit Suisse US$63 juta, Rabobank sebesar US$20 juta, Nomura Bank International Plc London sebesar US$67 juta, JP Morgan sebesar US$25 juta, West LB sebesar US$23 juta, Banca Popolare sebesar US$11 juta. Semua MTN milik bank telah dijaminkan kepada Saudi National Bank Corp dan Credit Suisse untuk pembukaan fasilitas letter of credit, kecuali MTN JP Morgan sebesar US$25 juta dan Nomura sebesar US$40 juta. Bank tidak menguasai secara fisik instrumen tersebut. Instrumen yang dijadikan jaminan dipegang custodian bank, sedangkan sisanya dipegang First Gulf Asian Holdings.

Ketiga, selain kedua jenis instrumen itu, bank memiliki negotiable CD. Terdiri dari NCD National Australia Bank, London sebesar US$45 juta (setara dengan Rp519,9 juta), Nomura Bank International Plc London sebesar US$38 juta (setara dengan Rp439 juta), dan Deutsche Bank sebesar US$8 juta (setara dengan Rp92,4 juta). Secara fisik penguasaan NCD tersebut berada pada First Gulf Asian Holdings selaku custodian.

Keempat, penempatan call money pada bank lain sebesar Rp2 triliun bukan karena bank memiliki kelebihan likuiditas, melainkan penempatan dana on call dilakukan sebagai fasilitas back to back untuk menjamin penerbitan letter of credit kepada pihak ketiga. Status dari pos rekening ini menurut catatan auditor adalah sebagai berikut.

• Pada 31 Maret 2008, saldo penempatan dana call money pada Credit Suisse Bank Singapore sebesar Rp221.217.713 (US$24.032.343) untuk menjamin fasilitas pembukaan L/C impor. Pada 24 November 2008, Credit Suisse Bank Singapore melakukan eksekusi atas penempatan dana tersebut. Akibatnya, saldo penempatan pada bank tersebut nihil.

• Pada 31 Maret 2008, bank menjaminkan dana dalam bentuk penempatan call money pada The Saudi National Commercial Bank (SNCB) sebesar Rp96.032.569 (US$10.432.653). Pada 29 Januari 2009, The Saudi National Commercial Bank (SNCB) melakukan eksekusi atas penempatan dana tersebut. Saldo penempatan call money pada bank tersebut menjadi nihil.

• Pada 31 Maret 2008, bank menjaminkan dana dalam bentuk penempatan call money pada Bank Internasional Indonesia sebesar Rp507.562.000 untuk menjamin kewajiban bank kepada Bank Internasional Indonesia sebesar Rp460.250.000 (US$50 juta).

• Pada 31 Maret 2008, saldo penempatan dana call money pada PT Bank DBS Indonesia sebesar Rp191.714.622 (US$20.827.277) untuk menjamin fasilitas pembukaan L/C impor. Pada 18 November 2008, DBS melakukan eksekusi atas penempatan dana tersebut.

Asset management agreement

Pada 17 Februari 2006, Bank Century melakukan asset management agreement (AMA) dengan Telltop Holdings Ltd, Singapura, yang berakhir pada 17 Februari 2009, dalam rangka penjualan surat-surat berharga bank sebesar US$203,4 juta. Selanjutnya dalam rangka penjualan surat berharga tersebut, Telltop Holdings Ltd menyerahkan pledge security deposit sebesar US$220 juta di Dresdner Bank (Swiss) Ltd. Perjanjian AMA tersebut telah diamendemen pada 2007, dengan penambahan surat-surat berharga yang dikelola Telltop Holding Ltd menjadi US$211,4 juta. Sebelum perjanjian AMA tersebut berakhir, pada 28 Januari 2009, Bank telah melakukan konfirmasi hasil realisasi penjualan surat-surat berharga tersebut kepada Telltop Holdings Ltd, tapi hingga saat ini belum ada jawaban sehingga bank melakukan klaim atas pledge security deposit sebesar US$220 juta kepada Dresdner Bank (Switzerland) Ltd.

Tanpa harus meneliti lebih dalam lagi, data komposisi aktiva tersebut telah dapat memberikan gambaran bahwa bisnis inti Bank Century bukanlah kegiatan bank komersial sebagaimana diperkirakan banyak orang selama ini. Outlet cabang utama, cabang pembantu dan kantor kas berfungsi sebagai showroom untuk menghimpun dana pihak ketiga yang kemudian digunakan untuk membeli financial instrument, untuk kemudian melakukan akrobat financing melalui financial instrument yang menyesatkan seperti US Treasury Strip, credit linked notes, credit default swap, MTN, dan sebagainya. Semua instrumen yang dimiliki itu dalam denominasi valuta asing.

Timbul pertanyaan kalau dana untuk instrumen tersebut berasal dari rupiah, sudah pasti net open position limit sudah dilampaui. Sulit untuk percaya bahwa Bank Indonesia tidak mengetahui hal semacam ini terjadi di Bank Century. Belum lama ini direktur bidang pengawasan BI mengatakan bahwa jika Century melakukan fraud, akan memakan waktu untuk mendeteksi. Statement macam ini merupakan pernyataan yang keblinger dan tidak bertanggung jawab. Investasi dalam US Treasury Strips, adanya asset management agreement dengan Telltop Holdings tertanggal 7 Februari 2006 untuk mengelola penjualan surat berharga sebesar US$203 juta, kesemuanya di-disclose dalam laporan keuangan tahun bersangkutan (2006-2007). Adanya investasi dalam US Treasury Strips sebesar US$177 juta yang notabene adalah sama dengan zero coupon bonds, ditambah dengan asset management agreement dengan Telltop Holdings seharusnya menjadi pemantik bagi BI untuk mengeluarkan kartu merah karena Bank Century telah menyimpang dari bisnis inti. Hal itu telah melanggar entah berapa banyak ketentuan PBI.

Seandainya tidak terjadi krisis pada kuartal terakhir 2008, saya yakin bahwa kegiatan ini akan terus berjalan bagaikan bom waktu sampai akhirnya meledak dengan kekuatan yang lebih dahsyat dari sekadar Rp6,7 triliun.

Oleh Dicky Iskandar Di Nata Mantan praktisi perbankan
Opini Media Indonesia 22 Desember 2009


Dalam dunia kerja, kewenangan untuk menilai Anda berada di tangan seorang atasan. Untuk mendapat nilai baik, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui terlebih dahulu poin-poin apa saja yang menjadi penilaian atasan terhadap diri Anda. Serta, berapa nilai yang harus Anda peroleh untuk mengantarkan karier Anda ke posisi strategis.

Berikut 5 penilaian atasan terhadap Anda, yang dapat menjadi pegangan agar perjalanan karier Anda mulus.

1. Kemampuan dan kemauan belajar
Anda akan dinilai apakah Anda dianggap sebagai orang yang memiliki kemampuan dan kemauan besar untuk belajar dan menyerap hal-hal baru. Termasuk, apakah Anda cepat tanggap dalam mengikuti setiap perubahan yang terjadi dan terbuka terhadap sesuatu yang baru.

2. Komitmen terhadap pekerjaan
Yang menjadi penilaian dari komitmen terhadap pekerjaan adalah loyalitas Anda terhadap tugas dan perusahaan, serta dorongan untuk berhasil. Termasuk dalam komitmen ini adalah tanggung jawab terhadap tugas yang Anda emban. Orang yang cukup puas dengan apa yang ada, dengan orang yang memiliki keinginan kuat untuk maju, pasti akan dinilai berbeda.

3. Sikap proaktif
Proaktivitas sangat dibutuhkan dalam bekerja. Anda akan mendapat nilai lebih, jika Anda selalu proaktif dan mandiri. Jangan bersikap menunggu, baru bergerak ketika atasan menyuruh. Berinisiatiflah! Anda harus tanggap dalam mendeteksi suatu masalah, kemudian dengan cepat memberikan solusi.

4. Kemampuan interpersonal
Yang dinilai, seberapa jauh Anda bisa menempatkan diri dalam lingkungan kerja, dan bagaimana Anda berkomunikasi dengan orang lain. Cara pendekatan kepada atasan, bawahan, dan rekan-rekan kerja yang lain juga menjadi penilaian.

5. Penampilan
Sebenarnya, penampilan bergantung juga pada bidang pekerjaan Anda. Anda tak perlu tampil berlebihan, yang penting Anda terlihat rapi dan berada di koridor kode etik yang pas. Umumnya, atasan lebih senang melihat karyawan yang berpenampilan rapi.


Beberapa hari terakhir, saya mendapati seorang simbok di suatu daerah di Solo yang tampak murung, gelisah dan kurang berselera makan. Simbok itu pun tak dapat menyembunyikan gundah di hatinya. Hampir tiap sepertiga malam terakhir, dia terbangun untuk mengadu kepada Sang Pencipta.

Dia kerap terdengar berbicara sendiri ketika orang lain sedang tertidur pulas. Perempuan yang berusia lebih dari 80 tahun itu seperti ngudarasa menumpahkan apa yang menjadi unek-uneknya.
Di usianya yang sudah renta itu, simbok merasa kurang mendapatkan perhatian dari kelima anaknya. Padahal, bisa dibilang, dia sangat menyayangi lima laki-lakinya. Tak hanya itu, simbok pun sering membangga-banggakan mereka.


Sayang sungguh sayang, apa yang simbok itu lakukan tidak mendapatkan balasan yang setimpal. Anaknya tidak mengurusinya dengan tanggung jawab itu. Anak yang satu dan lainnya terkesan lempar tanggung jawab. Padahal mereka bisa dikategorikan sebagai orang dengan kehidupan ekonomi mapan. Tapi itu semua tidak menjadi jaminan sang ibu yang berjasa banyak itu dapat hidup layak dan terjamin.
Sepenggal kisah di atas adalah sedikit cerita ibu yang tidak mendapatkan perhatian anak-anaknya. Jadi, pepatah yang menyebutkan bahwa seorang Ibu bisa mengurus 10 anak-anaknya tapi 10 anak belum tentu mampu mengurus seorang ibu ternyata benar adanya.
Penulis meyakini mungkin masih banyak kisah lain yang lebih parah, menyedihkan atau memilukan yang dialami seorang ibu. Ada pula kisah-kisah manis yang dialami seorang Ibu karena mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari anak-anaknya.
Semua orang pasti menyadari betapa luar biasanya seorang Ibu. Rasulullah Muhammad SAW menyampaikan perihal keutamaan seorang ibu serta supaya menghormati maupun merawatnya.
Selain itu, banyak syair-syair atau lagu yang menggambarkan atau menceritakan keberadaan seorang Ibu. Sebut saja, lagu Rhoma Irama dengan Keramat, Iwan Fals lewat lagu Ibu dan sebagainya. Di Indonesia, sebagai bentuk penghargaan terhadap sosok ibu, diperingati Hari Ibu setiap 22 Desember.
Setidaknya, peringatan itu merupakan suatu upaya untuk mengingatkan kembali kepada semua orang untuk merefleksi arti penting kehadiran ibu.
Dia telah mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat anak. Ibu disebut sebagai madrasatul ‘ula atau tempat kali pertama bagi anak untuk mendapatkan nilai-nilai pendidikan.
Ada tiga kodrat ibu dari Allah yang tidak dimiliki oleh laki-laki yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui. Karena itu, ibu mendapat hak yang lebih utama untuk dihormati.
Penulis memang baru memiliki seorang anak namun bisa ikut merasakan bagaimana rasanya ketika hamil, melahirkan dan pada masa-masa menyusui.
Pada peringatan Hari Ibu tahun ini, mari sama-sama merenungkan kembali jasa-jasa besar ibu.
Ada beberapa nilai semangat yang bisa dipetik dari kehadirannya. Pertama, rasa cinta yang tulus. Sebagian besar Ibu, biasanya memiliki rasa cinta yang besar dan tulus kepada anak-anaknya walau sang anak telah berumah tangga. Perhatian dan kepedulian tetap diberikan ibu sampai ke cucu-cucunya. Kasih ibu sepanjang masa.
Namun, tidak begitu halnya dengan anak. Banyak terjadi seorang anak cepat melupakan jasa besar orangtua ketika sudah berhasil dan sukses. Tak sedikit pula anak-anak yang kaya enggan mengakui orangtuanya yang miskin karena malu. Ada pula anak yang tak mau repot mengurusi orangtua kemudian membawanya ke panti jompo.

Peran orangtua
Sebenarnya, jika dirunut, keberhasilan anak tidak terlepas dari peran orangtua khususnya Ibu. Untaian doa dan dukungan materiil maupun nonmateriil membuat anak bisa meraih sukses.
Kedua, semangat yang patut diteladani dari ibu adalah pengorbanannya yang besar. Seorang anak, karena kondisi, kadang juga akhirnya terpaksa memanfaatkan tenaga ibunya. Misalnya, berhubung belum mendapatkan pembantu rumah tangga, untuk sementara sang ibu rela membantu mengasuh cucu-cucunya. Tapi, kenapa anak tega melihat ibunya tidak dapat menikmati masa-masa tuanya dengan bebas dari tugas merawat anak-anak.
Kadang karena sulitnya mencari tukang cuci, ibu pun kemudian turun tangan membantu mencuci baju anak maupun cucunya.
Diakui atau tidak, pengorbanan ibu begitu besar dalam kehidupan seorang anak. Sehingga, sudah selayaknya sebagai anak tidak cepat melupakan atau mengabaikan kiprah Ibu.
Ketiga, rasa tanggung jawab yang tinggi. Ibu yang menjadi single parent pun selalu berupaya agar anaknya memiliki masa depan yang baik. Dengan semangat tinggi, sang ibu bekerja dan terus berusaha mewujudkan cita-citanya. Ibu jenis ini memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap amanah yang telah diberikannya.
Alangkah indahnya jika pejabat atau wakil rakyat juga ikut meneladani semangat pengorbanan Ibu yang tinggi. Sehingga, bukan semangat memperkaya diri sendiri yang dibesar-besarkan melainkan bagaimana bisa membuat rakyat semakin sejahtera.
Tak hanya itu, semua orang pun bisa mencontoh semangat ibu dalam memberikan kasih sayangnya. Begitu pula dengan semangat pengorbanan maupun rasa tanggung jawab yang tinggi yang dapat diikuti siapa pun sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Lewat tulisan ini, semoga dapat mengingatkan penulis dan pembaca kaitannya dengan penghargaan jasa terhadap orangtua khususnya ibu. Mungkin, ibu kita tak berharap materi tapi perhatian dan kasih sayanglah yang dibutuhkannya. -

Oleh : Nadhiroh, Wartawan SOLOPOS
Opini Solo Pos 22 Desember 2009



BEGITU besarnya peran air bagi manusia. Air berfungsi mengantarkan mineral, vitamin, protein, dan zat gizi lainnya ke seluruh tubuh. Keseimbangan dan temperatur tubuh juga sangat bergantung pada air. Air adalah sumber kehidupan.

Banyak penelitian membuktikan manfaat air untuk kesehatan, bukan sekadar penghilang dahaga. Air merupakan pelumas jaringan tubuh, sekaligus bantalan sendi, tulang, dan otot. Air berfungsi menjaga darah mempunyai volume dan kekentalan yang cukup.

Fungsi lainnya adalah pengatur suhu tubuh. Air minum dalam konsumsi cukup mampu mendorong racun atau toksin dalam tubuh melalui keringat, air seni, dan pernapasan.

Lebih lanjut, seperti dirangkum MSN, minum air putih membantu pembakaran lemak, menurunkan demam, meringankan sembelit, membentuk otot tubuh, meringankan saluran hidung tersumbat, memerangi sakit perut sampai dengan memperbaiki mood seseorang.

Sebanyak 95 persen tubuh terdiri atas air, sehingga berperan besar sebagai pengangkut zat gizi agar sel-sel tubuh tidak kelaparan. Sebagai contoh, otak "kelaparan" karena gangguan suplai glukosa dan oksigen menyebabkan lesu, lelah, dan memicu timbulnya stroke (biasanya karena sumbatan pembuluh darah).

Dikutip dari In Your Body"s Many Cries for Water, Dr Fereydoon Batmanghelidj berpendapat, tubuh bisa salah menafsirkan sinyal rasa haus sebagai rasa sakit. Nah, air putih bisa menjadi obat seluruh penyakit, mulai sakit kepala dan depresi, sampai asma dan radang sendi.

Sudah jadi pengetahuan umum bahwa konsumsi air putih yang direkomendasikan para ahli setidaknya delapan gelas sehari, bahkan meski tubuh dalam kondisi bugar. Alasannya, air dibutuhkan untuk mengisi ulang tubuh yang kehilangan banyak cairan, lewat urin, keringat, dan pernapasan. Perlu diketahui, dalam sehari manusia dapat kehilangan sekira 1,5 liter cairan tubuh.

Salah satu cara untuk mengetahui apakah kadar air dalam tubuh Anda mencukupi untuk kebutuhan setiap hari adalah dengan melihat warna air seni. Jika air seni berwarna lebih gelap dan pekat, itu pertanda ginjal Anda bekerja keras menyaring kotoran ataupun racun. Untuk itu, Anda butuh bantuan air dalam jumlah cukup untuk membersihkannya. Sebaliknya, jika warna air seni Anda terang, itu artinya kadar air dalam tubuh Anda mencukupi.


Pada Desember 2009 ini, pertemuan internasional soal isu perubahan iklim kembali digelar di Kopenhagen, Denmark. Para delegasi dari berbagai negara kembali berkumpul untuk membicarakan masa depan bumi ini. Indonesia, sebagai salah satu negara yang rentan terkena dampak perubahan iklim, tak ketinggalan datang ke pertemuan itu.

Salah satu dampak buruk perubahan iklim adalah meningkatnya potensi banjir di Tanah Air. Pada Januari 2009, misalnya, parade banjir terjadi hampir di seluruh Indonesia. Pada bulan itu banjir terjadi di Bekasi, Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Bahkan banjir disertai tanah longsor juga terjadi di Karawang, Jawa Barat.

Selain disebabkan oleh rusaknya lingkungan hidup di kawasan tersebut, meningkatnya potensi bencana banjir dan tanah longsor adalah akibat makin tingginya intensitas hujan. Hal itu merupakan salah satu pertanda bahwa bencana ekologi global yang bernama perubahan iklim telah terjadi di depan mata.

Banyaknya bencana itu mengharuskan masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim. Pemerintah pun memiliki kewajiban untuk memberikan dukungan politik dan pendanaan kepada masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.

Alih-alih membuat program adaptasi, pemerintah justru lebih memilih berfokus pada kegiatan mitigasi (pengurangan) emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab perubahan iklim. Padahal, sejatinya, sebagai negara berkembang, Indonesia belum memiliki kewajiban untuk mengurangi GRK. Negara-negara maju sebagai penyebab perubahan iklimlah yang seharusnya lebih bertanggung jawab menurunkan emisi GRK di dalam negerinya masing-masing.

Dipinggirkannya kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim itu tak lepas dari pergerakan modal yang lebih berpihak kepada kegiatan mitigasi. Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Dr Ir Edi Effendi Tedjakusuma, MA, dalam sebuah sarasehan tentang perubahan iklim di Jakarta pada November 2009, mengatakan kegiatan mitigasi lebih banyak mendapat dukungan dana, baik berupa hibah maupun utang, dari negara dan lembaga bisnis bantuan internasional dibandingkan dengan kegiatan adaptasi.

Dari pernyataan Direktur Lingkungan Hidup Bappenas itu jelas terlihat bahwa besar-kecilnya dukungan dana dari luar negeri ikut mempengaruhi fokus kegiatan pemerintah dalam menangani isu perubahan iklim di dalam negeri. Lantas, mengapa negara-negara maju dan lembaga bisnis bantuan internasional lebih suka mengucurkan dananya untuk kegiatan mitigasi ketimbang adaptasi di Indonesia?

Hal itu ternyata terkait erat dengan proyek carbon offset atau tukar guling emisi karbon, yang memang diperbolehkan dalam kesepakatan internasional mengenai perubahan iklim. Carbon offset adalah salah satu mekanisme untuk membantu negara-negara maju memenuhi kewajibannya mengurangi GRK.
Dengan mekanisme carbon offset, negara maju dapat mengurangi GRK di luar negaranya. Hal itu dilakukan karena biaya untuk mengurangi GRK di negaranya dinilai jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan mengurangi GRK di luar negaranya.

Di Indonesia, 26,6 juta hektare lahan pun telah direncanakan akan diperdagangkan dalam proyek carbon offset. Uang yang beredar dalam proyek ini diperkirakan mencapai Rp 63 triliun. Melihat banyaknya uang yang beredar dalam proyek carbon offset itu, tak mengherankan bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ingin Indonesia menjadi pemimpin dalam hal penurunan emisi GRK ini. Bahkan SBY mematok target ikut menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen pada 2020.

Target Indonesia dalam penurunan emisi GRK sebesar itu pun mendapat pujian dari negara-negara maju. Pujian itu antara lain datang dari Perdana Menteri Inggris Gordon Brown. Menurut Brown, target yang ditetapkan pemerintah Indonesia tergolong berani, di saat negara lain masih berwacana dan menjaga jarak. Tuluskah pujian Brown? Pujian itu sejatinya lebih karena Indonesia membuka diri untuk proyek carbon offset guna membantu negara-negara maju menurunkan emisi GRK.

Celakanya, pesta-pora proyek mitigasi GRK melalui skema carbon offset itu tidak berkaitan sama sekali dengan kehidupan masyarakat bawah yang semakin rentan terkena dampak perubahan iklim. Bahkan proyek carbon offset, khususnya di sektor kehutanan, justru berpotensi mengusir petani dan penduduk di sekitar hutan yang telah sekian lama memanfaatkan hasil sumber daya hutan secara lestari.

Di Ulu Masen, Nanggroe Aceh Darussalam, misalnya, sekitar 750 ribu hektare tanah rakyat sudah tidak boleh ditinggali dan digarap lagi. Di Muara Jambi, para petani harus berjuang melindungi tanah pertanian mereka seluas 101 ribu hektare tanah yang diklaim menjadi kawasan konservasi dalam proyek carbon offset.

Maraknya proyek carbon offset dan minimnya program adaptasi di negeri ini memang bertentangan dengan rasa keadilan. Bagaimana tidak, masyarakat dibiarkan sendirian dalam beradaptasi dengan perubahan iklim, bahkan sebagian di antara mereka diusir dari tanah garapannya. Sedangkan para petinggi di negeri ini justru asyik berpesta dengan proyek carbon offset untuk membantu negara-negara maju dalam menurunkan emisinya.

Bukan merupakan dosa besar jika pemerintah Indonesia ingin membantu negara maju menurunkan emisi karbon seraya berebut uang dalam berbagai proyek perubahan iklim. Namun, menjadi sebuah dosa besar jika kegiatan membantu negara maju dan berebut uang tersebut membuat pemerintah melupakan kewajibannya membantu warganya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Negara-negara berkembang adalah korban perubahan iklim yang dipicu oleh keserakahan negara-negara maju dalam mengkonsumsi energi fosil. Adalah sebuah ketidakadilan yang diperlihatkan secara telanjang bila negara-negara berkembang dibiarkan dengan kemampuan pendanaan terbatas untuk beradaptasi, sementara di sisi lain mereka dibujuk dengan proyek-proyek carbon offset untuk ikut membantu negara-negara maju menurunkan emisi karbon. *Firdaus Cahyadi, Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia

Opini Tempo Interaktif 16 Desember 2009




Final days of each year are always the best opportunity to reflect on what happened during the year in order to predict or project the future.
Just recently, people from across the country, together with other global citizens, commemorate the International Human Rights Day and still have classic demands that haven’t yet come to fruition: justice, land, employment and welfare.
The human rights situation in the year 2009 illustrates a paradox state. On one hand there were some improvements.


In order to come to terms with the past, the parliament has made the political decision that recommends the President Susilo Bambang Yudhoyono establish an ad hoc human rights court for enforced disappearance cases, including finding the fate and the whereabouts of missing persons, to provide rehabilitation and compensation to the victims and their families and to ratify the United Convention Against Enforced Disappearance.
In order to prevent such legacy from repetition in the future, the Indonesian government has been actively pushing for the establishment of the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights.
And also, other positive developments have been observed in the introduction of the National Police Chief Regulation on the Implementation of Human Rights Principles and Standard.
Such instrument will be extremely important to measure the incompatibility of police technical procedures and actions, and also prevent the use of excessive force in handling demonstrations or to prevent arbitrary arrest and detention, as well as torture practices. These are all improvements that need to be appreciated.
On the other hand, however, those achievements were nothing compared to the stagnation of justice concerning other important human rights violations, including the acquittal of former Commander of Army"s Special Forces and Deputy V of State Intelligence Agency Muchdi P.R. in the murder of human rights defender Munir.
Having the State Intelligence Agency led by a former police chief (civilian) is something useful for building a less militaristic state intelligence and cooperative for the next investigation on the Munir case.
However, without having a more committed Attorney General who dares to take action against masterminds with strong connections with those in power, nothing"s going to change.
The recent legal status on the Munir case is up to the Attorney General, whether it would take the
very last legal resort, to file for Peninjauan Kembali/PK or review with the Supreme Court, and whether it will provide new evidence that has already been collected by the police.
In the context of legislative and institutional reform, the government and the parliament didn’t even meet the targets in the National Action Plan on Human Rights 2004-2009 that includes the ratification of the Rome Statue and several other conventions on migrant, genocide and refugees.
Furthermore, the parliament and the executive have failed to revise the law on military tribunals, where the police has been blocked from investigating crimes committed by military personnel.
By having this law, soldiers will continue to enjoy impunity in the future. And even a strong state body, such as the Corruption Eradication Commission (KPK) cannot take on cases of corruption involving military personnel, to justice. From the era of Soeharto to Yudhoyono"s administration, the military is still above the law.
In the meantime, the situation in Papua is also deteriorating with many violent acts and people being prosecuted for peaceful political activities.
In Aceh, the enactment of the new criminal code based on Islamic Sharia law (Qanun Jinayah) will undermine the image of Indonesia as a moderate Muslim society with the role as a pioneer of democracy.
It"s clear that those agendas should be readdressed by the government and the parliament in 2010.
Unfortunately, the re-elected President didn’t consider the human rights agenda as the priority of his programs, at least in the upcoming year. What will happen then?
First, although it"s likely that a gross violation of human rights will occur, violation committed by security forces will be unavoidable.
The most risky situation is the violence related to the conflict surrounding the claim of people living in poverty or other vulnerable groups concerning economic rights.
In the context of civil and political rights, the main issues will concern the attack on the freedom of thought or religion and expression with the trend of using the criminalization act, particularly against the people who promote those rights.
Second, the state accountability is absent, which would facilitate other human rights abuses to take place again without an effective remedy. Interestingly, the President should respond to the previous parliament"s recommendation on the establishment of a court to try the responsible perpetrators of the 1997/1998 enforced disappearance case.
Delaying the decision is not an option and could undermine the Yudhoyono"s credibility.
Similar to that, it seems that the Munir case is going nowhere, although this case is considered by many as a political test to the human rights issue in Indonesia.
The year 2010 could also be a good opportunity to reform the law enforcement institutions, particularly the National Police and the Attorney General"s Office, which have been declared by Yudhoyono after recent public outrage on corruption.
The President should think of strengthening the external accountability of those institutions and consider a vetting system based on human rights standards.
Third, the situation in Papua could worsen if there is no genuine dialogue between the central government and representatives from Papua.
This region is one of a few areas that has significant numbers of prisoners of conscience. People are convicted for peaceful political protests with treason charges. If this practice is maintained, Papuans will continue to feel abandoned.


Usman Hamid, The writer is coordinator for the Commission for Disappearances and Victims of Violence (Kontras).
Opinion The Jakarta Post, December 21,2009

Ketika kerja Panitia Khusus (Pansus) Angket Bank Century belum lagi usai, pimpinan Pansus mengeluarkan imbauan agar para penyelenggara negara yang menjadi saksi atau terperiksa menonaktifkan diri dari jabatannya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun bereaksi dan langsung menolaknya. Lalu ke mana arah Pansus Angket ini? Bisa diduga, yang “ditembak” Pansus Angket adalah Wapres Boediono dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Seperti diketahui, Boediono menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia ketika Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai Sri Mulyani selaku Menkeu memutuskan untuk menyelamatkan Bank Century pada akhir November 2008. Selaku lembaga pengawas perbankan nasional, Gubernur BI Boediono bertanggung jawab atas hasil evaluasi dan penilaian terhadap kesehatan setiap bank, termasuk Bank Century.

Meskipun “imbauan” Pansus sebenarnya tidak memiliki legitimasi yang kuat, apalagi mengikat secara politik, sebagian kalangan menyesalkannya karena dianggap terlalu prematur. Persoalannya, Pansus sendiri belum meminta keterangan kepada para penyelenggara negara yang diindikasikan menyalahi wewenang seperti laporan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tidak mengherankan jika muncul sinyalemen bahwa “imbauan” Pansus dilatarbelakangi oleh “dendam politik” sebagian kalangan politisi terhadap Boediono dan Sri Mulyani.

Mengapa Boediono dan Sri Mulyani?

Terlepas dari persoalan skandal bailout Bank Century, sejak Presiden SBY memilih Boediono sebagai pasangan wapres menggantikan Jusuf Kalla, beberapa parpol dan politisi telah menunjukkan keberatan mereka. PAN dan PKS misalnya, sejak awal menolak Boediono sebagai pendamping SBY. Bersama dengan PKB dan PPP, keempat parpol berbasis Islam tersebut bahkan sempat berencana membentuk koalisi alternatif di luar Partai Demokrat jika SBY tetap memilih Boediono sebagai calon wapres.

Walaupun akhirnya keempat parpol berbasis Islam itu menerima Boediono dengan kompensasi jatah kabinet yang memadai, sangat mungkin masih tersimpan “dendam politik” sebagian politisi terhadap guru besar ekonomi dari UGM tersebut. Momentum skandal penalangan Bank Century tampaknya dimanfaatkan oleh para “musuh” Boediono untuk turut mengail di air politik yang tengah keruh dewasa ini. Sementara itu “dendam politik” terhadap Sri Mulyani bisa jadi masih disimpan dengan rapi oleh Aburizal Bakrie, mantan Menko Kesra yang kini menjadi Ketua Umum Partai Golkar.

Seperti diketahui, Menkeu Sri Mulyani pernah menolak dengan keras penutupan sementara perdagangan saham ketika harga saham kelompok usaha keluarga Bakrie Bumi Resources Tbk anjlok di Bursa Efek Indonesia. Sri Mulyani bahkan sempat mengancam untuk mengundurkan diri jika penutupan sementara perdagangan saham tetap dilakukan oleh pemerintah. Namun atas bujukan SBY, Sri Mulyani tak jadi mundur kendati penutupan sementara perdagangan saham di bursa tetap dilakukan. Dilemanya baik Boediono maupun Sri Mulyani berasal dari kalangan profesional dan tidak memiliki basis politik sehingga relatif mudah dikambinghitamkan ketimbang wapres ataupun menteri yang berasal dari parpol.

Tantangan Pansus

Oleh karena itu tantangan terbesar Pansus Angket DPR bukan semata-mata mengurai benangkusut aliran dana talangan Bank Century, tetapi juga menghindarkan diri dari “bias” dan perangkap politik mereka yang hendak menjadikan kerja Pansus sebagai arena “balas dendam” politik. Imbauan yang dikeluarkan pimpinan Pansus yang terlalu prematur jelas mengindikasikan kerja Pansus yang mulai masuk perangkap yang ditebar oleh para politikus yang memiliki agenda sendiri-sendiri di luar soal skandal Bank Century.

Meskipun pimpinan Pansus Angket tidak menyebut nama siapa saja penyelenggara negara yang harus menonaktifkan diri, jika salah seorang di antaranya adalah Boediono, imbauan tersebut jelas tidak pada tempatnya. Persoalannya, penonaktifan ataupun pemberhentian seorang wapres memiliki mekanisme sendiri yang telah baku dalam UUD 1945 yang telah diamendemen. Seperti diatur Pasal 7A dan 7B konstitusi hasil amendemen, pemberhentian presiden dan atau wapres tidak hanya melibatkan institusi DPR, tetapi juga MPR dan Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, mekanisme konstitusi yang harus dilalui juga relatif panjang dan rumit karena harus bisa dibuktikan bahwa presiden dan atau wapres melakukan pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai “pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lain, atau perbuatan tercela”, dan “tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden”. Sementara itu, terkait Menkeu Sri Mulyani, jelas itu menjadi kewenangan dan hak prerogatif Presiden SBY. Pengecualian hanya berlaku jika pada akhirnya mantan Direktur Eksekutif IMF wilayah Asia-Pasifik tersebut dinyatakan sebagai terdakwa dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih.

Kembali ke Otoritas Pansus

Dalam kaitan tersebut, memang tidak ada urgensinya Pansus Angket mengimbau para penyelenggara negara menonaktifkan diri ketika Pansus sendiri belum menuntaskan tugasnya.

Agenda pokok Pansus adalah (1) menyelidiki sejauh mana keputusan penyelamatan dan bailout terhadap Bank Century diambil sesuai aturan dan kewenangan KSSK yang diketuai Menkeu Sri Mulyani; (2) menyelidiki kemungkinan adanya konspirasi di balik penyelamatan bank yang jelas-jelas dirampok oleh pemilik sendiri; dan (3) menyelidiki ke mana saja dana Rp6,7 triliun itu mengalir agar dusta dan fitnah terhindarkan. Namun yang tak kalah menarik di balik imbauan prematur Pansus Angket adalah sikap Partai Demokrat (PD) yang ternyata turut mendukung secara aklamasi dikeluarkannya imbauan tersebut.

Apakah mungkin ada juga kalangan PD yang kecewa terhadap Boediono dan Sri Mulyani ataukah ini semata- mata kegagalan strategi politik parpol pemenang Pemilu 2009 tersebut? Di luar kemungkinan di atas, imbauan Pansus Angket juga bisa dibaca sebagai ”gertak politik” belaka untuk menunjukkan secara publik bahwa mereka benar-benar bekerja dan DPR kini “bergigi”.

Namun yang dilupakan oleh Pansus Angket adalah bahwa publik pun semakin cerdas. Karena itu Pansus Angket Century akan menjadi ujian bagi DPR, apakah para politisi benar-benar berpihak kepentingan rakyat atau diri sendiri.(*)

Syamsuddin Haris
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Opini Okezone 21 Desember 2009 

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/