Cara Mudah Bikin Mr P Berdiri adalah MASSAGE menjadi opsi penting membangkitkan gairah pasangan di ranjang. Kini, saatnya Anda berperan layaknya pemijat profesional.

Tempat tidur nan empuk memang pas untuk berhubungan intim. Namun, bukan itu saja fungsi ranjang bagi pasangan suami istri. Nyatanya, ranjang merupakan lokasi menarik bagi setiap pasangan untuk melepas lelah dengan sebuah pijatan (massage).


Ada beberapa hal yang perlu Anda perhatikan sebelum memulai aksi memijat tubuh pasangan. Selain pernak-pernik tempat tidur macam bantal untuk penyangga kepala, Anda perlu menyiapkan celana dalam dan bra bermotif menggoda.

Nah, tidak berhenti di situ saja membuat pasangan semakin bergairah. Anda bisa memainkan jari-jemari tangan selama melakukan aksi massage. Tentu saja tidak hanya fokus pada bagian tubuh yang itu-itu saja, beralihlah pada area sensitif pasangan. Dijamin, Mr P pasangan segera berdiri.

"Kualitas sentuhan Anda lebih penting dibandingkan teknik pemijatan itu sendiri," ujar Peggy Morrison Horan, penulis buku Connecting Through Touch, seperti dikutip dari Sheknows, Rabu (16/12/2009).

Selain sentuhan lembut dan hangat dari tangan Anda, Horan menyarankan agar pasangan memakai minyak pijat. Sebab, minyak ini dapat mengurangi gesekan pada kulit dan memudahkan Anda melemaskan otot-otot tubuh pasangan yang tegang dan lelah akibat stres.

"Pijat berkaitan erat dengan emosional seseorang. Sentuh pasangan Anda dengan tulus dan perhatikan reaksinya," tutup Horan yang juga pendiri Esalen Massage Program, Esalen Institute di Big Sur, California.



Dua orang wanita yang berteman di Facebook kaget dengan kenyataan mereka ternyata menikahi pria yang sama. Sang suami pun ditahan oleh polisi.

Pria China itu ditahan kepolisian setelah dua perempuan bertemu satu sama lain di situs jejaring sosial Facebook dan menyadari mereka menikahi pria yang sama.

Pria warga negara Meksiko tersebut diidentifikasi sebagai Chang, dituntut atas bigami atau menikah dengan dua wanita.

Dia ditangkap minggu lalu setelah salah satu istrinya menambah daftar teman suaminya ke dalam daftar kontaknya di Kaixin001, Facebook versi China.

Kedua wanita tersebut kemudian menjadi teman, tetapi pria tersebut mulai gelisah ketika kedua wanita itu saling bertukar foto pernikahan dengan gambar pengantin pria yang sama persis.

Chang menikahi salah seorang wanita yang berasal dari provini timur Zhejiang pada 2005.

Namun ketika Chang sedang dalam perjalanan bisnis ke Meksiko, dia bertemu dengan seorang wanita dari Beijing dan langsung menikahinya, setelah mengetahui wanita tersebut hamil karenanya.

Pria tersebut mengatakan bahwa dia sedang berbisnis ke luar negeri dan tidak dapat pulang ke rumah secara rutin, ternyata dia membagi waktunya di antara dua rumah di Zhejiang dan Beijing.



Setiap orang pasti mengenal buah ini. Bentuknya bulat, warnanya dagingnya kuning, warna kulitnya umumnya hijau, dagingnya juga ada yang bersemburat merah dan rasanya manis.

Buah ini tidak hanya disukai orang dewasa, tapi juga anak-anak. Mangga (Mangifera indica) adalah buah tropis. Ketika masih mentah (muda), buah ini pun banyak dicari untuk rujak dan dicari oleh wanita yang hamil.

Mangga adalah tanaman buah asli dari India. Namun kini, tersebar di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Tanaman Mangga bisa tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah dan berhawa panas. Tapi, ada juga juga yang bisa tumbuh di daerah yang memiliki ketinggian hingga 600 meter di atas permukaan laut.

Mangga memiliki banyak varietas. Ada yang menyebutkan, setidaknnya terdapat 2.000 jenis mangga di dunia. Selain rasanya yang manis dan menyegarkan, buah mangga ternyata juga memiliki khasiat yang baik untuk kesehatan. Sebab buah ini mengandung zat-zat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.

Khasiat mangga :
Para ahli meyakini mangga adalah sumber karotenoid yang disebut beta crytoxanthin, yaitu bahan penumpas kanker yang baik.

Mangga juga kaya vitamin antioksidan seperti vitamin C dan E. Satu buah mangga mengandung tujuh gram serat yang dapat membantu sistem pencernaan. Sebagian besar serat larut dalam air dan dapat menjaga kolesterol agar tetap normal.

Mangga memiliki sifat kimia dan efek farmakologis tertentu, yaitu bersifat pengelat (astringent), peluruh urine, penyegar, penambah napsu makan, pencahar ringan, peluruh dahak dan antioksidan.

Kandungan asam galat pada mangga sangat baik untuk saluran pencernaan. Sedangkan kandungan riboflavinnya sangat baik untuk kesehatan mata, mulut, dan tenggorokan.
Mangga pun berkhasiat membantu menyembuhkan berbagai penyakit, diantaranya radang kulit, influenza, asma, gangguan pengelihatan, gusi berdarah, radang tenggorokan, radang saluran napas, sesak napas dan borok. Selain itu juga bisa mengatasi bisul, kudis, eksim, perut mulas, diare, mabuk perjalanan, cacingan, kurang nafsu makan, keputihan, gangguan menstruasi, hernia dan rematik.

Cara Mengatasinya :
Untuk mengatasi radang kulit yang digunakan adalah kulit buah mangga. Caranya, 150 gram kulit buah mangga dimasak dengan air secukupnya hingga mendidih. Dalam kondisi hangat, air rebusan ini dipakai untuk mencuci bagian kulit yang mengalami sakit atau peradangan. Ramuan ini juga bisa digunakan untuk mengatasi eksim.

Penyakit influenza juga bisa diatasi dengan buah ini. Caranya, 200 gram daging buah mangga ditambah 10 gram jahe, dan dua batang daun bawang putih. Bahan-bahan ini direbus dengan 500 cc air hingga tersisa 250 cc. Kemudian airnya disaring dan diminum selagi masih hangat.
Mereka yang biasa mabuk perjalanan juga bisa memanfaatkan mangga untuk mengatasinya. Caranya, mangga yang sebelumnya dikeringkan lalu direbus dengan air secukupnya. Setelah hangat, tambahkan madu secukupnya dan 10 cc air jeruk nipis lalu diaduk hingga rata. Selanjutnya ramuan ini diminum selagi hangat.


Warren Edward Buffett adalah nama yang pasti tidak asing lagi di telinga kalangan pengusaha Amerika Serikat (AS). Pria kelahiran Kota Omaha, Nebraska, AS ini terkenal sebagai investor dan pengusaha raksasa dengan perkiraan pendapatan bersih US$44 miliar pada tahun 2005.

Pada 2008, total kekayaannya mencapai US$62 miliar. Majalah bisnis Forbes mendudukannya sebagai orang terkaya di dunia pada tahun 2008.


Tentu Anda sudah bisa membayangkan apa saja yang ia miliki saat ini. Tapi menariknya, sewaktu diwawancarai stasiun televisi CNBC, kesan kemewahan yang dibayangkan itu justru tidak tampak. Justru sebaliknya, kesan kesederhanaanlah yang sangat tampak dalam kehidupannya selama ini.
Hingga saat ini, ia hidup dalam sebuah rumah kecil di tengah Kota Omaha dengan tiga kamar tidur. Rumah yang sudah ditinggali sejak 50 tahun lalu setelah pernikahannya itu tidak memiliki tembok ataupun pagar yang mengelilinginya. Meski jauh dari kesan mewah, tapi ia mengatakan, ”Aku memiliki segalanya di rumah ini.”
Ia menyetir mobilnya sendiri dan tidak memiliki seorang sopir maupun petugas keamanan di sekitarnya. Ia tidak pernah bepergian dengan pesawat jet pribadinya, meski ia memiliki perusahaan pesawat jet terbesar di dunia. Ia tidak banyak bergaul dengan kelompok sosial-ekonomi papan atas. Ia tidak memiliki telepon genggam atau komputer di mejanya.
Di depan kaum muda, ia sering berpesan beberapa hal, antara lain, pertama, uang tidak menciptakan manusia, tapi manusialah yang menciptakan uang. Kedua, jalani kehidupanmu sesederhana mungkin. Ketiga, jangan buang uangmu untuk hal-hal yang tidak berguna, tapi sisihkan uangmu untuk orang-orang yang membutuhkan.
Kesederhanaan hidup Warren E Buffett pasti amat mencengangkan banyak orang. Bagaimana mungkin orang yang amat kaya, bahkan terkaya di dunia, bisa hidup sesederhana itu? Ini amatlah langka, tapi patut dijadikan pedoman hidup orang lain dalam lautan konsumerisme saat ini.
Tapi ini baru seorang yang bernama Warren E Buffett. Belum seorang yang bernama Yesus Kristus. Lukas 2: 11-12 mencatat perkataan malaikat kepada para gembala di padang. ”Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.”
Bayangkan, Yesus bukan saja pribadi yang terkaya di dunia, tapi termaha di dunia dan seluruh jagat raya. Mahakaya, Maha Ada, Mahakuasa dan maha-maha lainnya. Tapi bagaimana mungkin Ia bisa lahir di tempat yang amat sederhana itu? Bagaimana mungkin Ia bisa lahir lewat seorang wanita yang tidak terkenal? Bagaimana mungkin Ia bisa lahir dari seorang anak tukang kayu?
Di Hari Natal yang berbahagia ini, marilah kita bukan hanya mengagumi kesederhanaan hidup Yesus, tapi juga menjalani kesederhanaan itu sendiri. Ingat, hari Natal pada awalnya bukanlah hari yang penuh dengan riuh-gemuruh pesta, makanan yang mewah dan dekorasi yang mahal. Sebaliknya, Natal awalnya adalah hari yang amat sepi, amat sunyi dan yang pasti amat sederhana. Kembalilah pada semangat Natal mula-mula, yaitu semangat kesederhanaan.

Kemewahan dunuawi
Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran, negara yang kaya minyaknya, pernah diwawancarai oleh TV Fox AS soal kehidupan pribadinya. Pertanyaan yang ditujukan padanya adalah, ”Saat Anda melihat di depan cermin setiap pagi, apa yang Anda katakan pada diri Anda?” Jawab Ahmadinejad adalah, ”Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya: Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran.”
Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenannya adalah tas sederhana yang tiap hari dibawanya berisi roti keju buatan istrinya. Ia memakannya dengan gembira. Ia juga menghentikan kebiasaan makan makanan khusus kepresidenan. Selain soal makanan, ia juga tidak mau memakai pesawat terbang kepresidenan. Ia meminta terbang dengan pesawat kelas ekonomi.
Wow, mengagumkan! Tapi sekali lagi jangan hanya kagum. Segeralah susuri jalan kesederhanaan tersebut mulai dari sekarang. Ingat, kehidupan yang sederhana adalah semangat Natal mula-mula. Jangan kita cemari dengan pola hidup yang ingin menunjukkan kemewahan duniawi. Henry W Longfellow, seorang penyair, mengatakan, ”In character, in manner, in style, in all things, the supreme exellence is simplicity (dalam karakter, sikap, gaya, dalam segala hal, kesederhanaan adalah hal yang terindah).” -

Oleh : Andrew Abdi Setiawan, Rohaniwan di Gereja Kristen Kalam Kudus Solo
Opini Solo Pos 24 Desmeber 2009


Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), menulis pesan Natal 2009 dengan sebuah tema yang menyejukkan serentak menantang. Tuhan baik kepada semua orang dan penuh rahmat dengan segala yang dijadikan-Nya. Tema yang diambil dari Mazmur 145 ayat 9 itu ingin mengalirkan kesejukan dan kesegaran di tengah kegersangan sosial yang mengkristal dalam aneka wajah menyeramkan belakangan ini. Lanskap sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang semakin memusuhi kehidupan terasa memperkuat pentingnya menghidupi dan mengalami pesan Natal 2009 ini secara konkret.
Sekaligus menantang. Sebab usaha kembali ke jalan yang lebih benderang dengan nurani sosial bening menjadi tanggung jawab dan panggilan semua orang yang niscaya merindukan kebaikan, keadilan dan kesejahteraan.


Scandalum
Jika merunut pada sekian banyak kecemasan konkret yang melontar jamak di tengah sejarah kemanusiaan akhir-akhir ini, agaknya memang tidak perlu ditolak sebuah kepastian bahwa kebaikan dan keadilan sedang terkurung di lorong buntu kesombongan sebagian dari kita. Mereka yang merasa memiliki kuasa untuk mengatur sejarah sekehendak hati mereka. Kehendak baik dalam politik telah lama menepi akibat rasa ketamakan yang menjadi berhala baru kekuasaan. Itu mengunci terciptanya kebaikan--apa yang sejak lama dianggap sebagai kompetensi politik.
Terlalu mudah untuk memastikan bahwa jalan sejarah sedang ditampar sederet ironi yang mengkristal dalam bentuk tragika politik, ekonomi, ekologi yang semakin suram. Tidak butuh banyak perdebatan untuk menarik ujung paling awal dari semua kejatuhan ini selain kerusakan parah dalam ruang nurani individu dan sosial. Pertimbangan moral tidak cukup populer di hadapan kenikmatan yang didapatkan dengan cara menggunakan kekuasaan secara membabi buta.
Mulanya ada ketidakseimbangan yang semakin menganga antara kerakusan yang semakin besar dan kemampuan kehidupan (dunia) memenuhinya dengan cepat. Itulah yang menjadi titik muasal dari segenap perilaku busuk yang merusak sejarah belakangan ini. Dengan lebih tajam, Richard L Fern dalam buku Nature, God and Humanity (2002) membicarakan keruntuhan demi keruntuhan yang mencuat dari ketidakseriusan manusia membangun basis etik untuk semua kebijakan dalam bidang politik, sosial, dan lingkungan.
Sesuatu yang mencolok sekarang ini adalah menguatnya semacam fuzzy politics (politik yang kabur) sehingga politik tidak menegaskan keberpihakan pada kemanusiaan. Secara lugas dapat dikatakan bahwa kondisi seperti ini menjadi scandalum (sandungan) untuk penciptaan kemakmuran manusia. Ini secara lekas akan melahirkan para predator sejarah dan kehidupan yang bercokol aman dalam ruang-ruang kekuasaan. Pada judul kecil untuk buku penting ini, Fern menuliskan demikian envisioning etchic of  nature sebuah kerinduan mengembalikan kehidupan pada pertimbangan yang jauh lebih mendasar ketimbang hasrat jangka pendek.

Energi
Sungguh menjadi sangat tidak mencukupi manakala kita mengandalkan rumusan-rumusan suci dari sekian banyak kebijakan politik pembangunan yang bertebaran tanpa batas di kekinian. Bahkan kadang terlalu biasa dan dianggap baik memunculkan portofolio politik pembangunan berdasarkan kepentingan sempit yang disembunyikan dalam bahasa yang cermat menipu dan membelokkan kesadaran.
Manusia saat ini terutama institusi politik, ekonomi, dan sosial berhadapan dengan tanggung jawab yang sesungguhnya selalu menempel dalam nurani mereka untuk menyelamatkan sejarah dari kerakusan yang mencelakakan. Pasar yang semakin tidak adil. Ekonomi yang membantai masyarakat kecil. Politik yang tunduk pada ambisi sesat. Hukum yang gampang dibeli dan ditentukan dengan kekuatan uang. Lingkungan yang digasak mesin pengisap. Tak beranjak dari kesuraman seperti ini bahkan berusaha mencari justifikasi untuk mengabadikannya dalam pakem pembangunan global dan nasional akan segera menjerumuskan kehidupan pada titik paling gelap dari masa-masa tergelap yang pernah terjadi.
Raymond Plant yang menulis buku Politics, Theology and History (2001) agaknya melihat bagaimana peran agama (spiritual) masih tetap penting untuk menjadi bagian dari keseluruhan proses perbaikan kehidupan manusia sekarang ini. Plant membahasakan demikian, 'hanya kemurnian dan kejernihan dalam nurani kehidupan yang bisa menyelamatkan bumi ini'. Politik yang digerakkan energi yang baik dan benar akan memberikan efek konstruktif terhadap sejarah dan kemanusiaan.
Tuhan yang diperkenalkan agama sebagai mahabaik dan mahakuasa tidak lagi dianggap sebagai biang keburukan di atas bumi karena kita menganggap Dia hanya menjadi penonton pasif di hadapan penderitaan dan kesengsaraan. Namun, dengan lekas terbit kesadaran bahwa kebebasan yang tidak dijaga dengan kemurnian nurani akan menghasilkan pola laku yang melabrak kehidupan tanpa rasa iba yang membebaskan. Artinya, energi itu sebenarnya pertama sekali harus kita temukan dalam kedirian kita sendiri. Pada sebuah bangsa yang kelihatannya dipenuhi kejahatan, keburukan, dan kegelapan, mesti ada keharusan untuk kembali ke dalam diri sendiri memperbaiki nurani dan kesadaran.

Kesederhanaan
Kenneth D Boa dan Robert M Bowman Jr yang menulis buku Evidence that Gods Exist (2005) memunculkan satu pesan kunci berhubungan dengan peristiwa Inkarnasi (Allah menjadi manusia). Dalam konteks populer dirujuk dalam peristiwa kelahiran Tuhan Yesus, Juru Selamat Dunia. Pesta Natal. Keduanya menyebutkan 'the power of simplicity' sebagai nilai paling mendasar dari Inkarnasi. Itulah yang menyebabkan peristiwa kelahiran Tuhan Yesus menjadi sesuatu yang paradoksal, penuh kejutan, sekaligus kritikan untuk kehidupan.
Paradoksal karena Tuhan yang mahakuasa dan mahabesar itu hadir dalam diri seorang bayi mungil, miskin, dan sendirian. Tidak punya apa-apa. Tidak punya siapa-siapa sebagai andalan, selain orang tua dan para gembala yang sedang berjaga malam itu. Bahkan, kisah kelahiran Sang Juru Selamat diselimuti dengan keadaan memprihatinkan. Tidak ada tempat untuk berteduh. Di situ, pada akhirnya, palungan dan lampin menemani kelahiran Sang Juru Selamat!
Penuh kejutan dan kritikan, dengan mempertimbangkan kemeriahan yang seharusnya dialami oleh seorang yang datang dari Allah Mahakuasa. Dia mengambil jalan hina dan sederhana. Namun, sejak awal menjadi nyata bahwa jalan hina dan sederhana ini menjadi energi yang menggerakkan sejarah sejak kedatangan Sang Juru Selamat. Kesederhanaan adalah sesuatu yang mengalir dalam keseluruhan tapa profetiknya dalam sejarah. Kesederhanaan tidak sama artinya dengan tidak mempunyai apa-apa dalam kehidupan. Namun, kesadaran adalah energi yang meluputkan manusia dari penjara kerakusan. Dia membetulkan sejarah, kemanusiaan, dan peradaban dengan 'kesederhanaan' itu. Sesuatu yang membius, menghipnotis, serentak membawa kesadaran pada titik paling murni. Murni, manakala kesadaran itu terbebas dari jeratan kerakusan, ketamakan, dan ambisi destruktif.
Menyimak kondisi kehidupan kita akhir-akhir ini yang menjadi hitam akibat kejahatan yang terus mengubur kejujuran dan keadilan, agaknya perlu menemukan energi yang lebih murni dalam kehidupan kita. Korupsi dan segenap kejahatan politik yang ada sesungguhnya merefleksikan ketiadaan pertahanan diri untuk meredam rayuan hasrat kerakusan. Mengambil jalan hina dan sederhana adalah pesan penting Natal tahun ini. Jalan individual dan komunal yang harus dilewati dengan tekun dan tanpa pamrih. Namun, terutama jalan yang harus ditempuh kekuasaan dan politik yang bersentuhan langsung dengan kehidupan khalayak jelata. 

Oleh Max Regus, Rohaniwan dan Sosiolog, tinggal di Jakarta  

Opini Media Indonesia 24 Desember 2009


Di tengah kegaduhan seputar Natal dan kecemasan akan keamanan yang kembali menjadi masalah seputar Natal, ada saatnya bangsa ini kembali mengambil inspirasi dari kedalaman permenungan para bijak negeri ini. Salah satunya adalah puisi Manusia Utama ST Alisjahbana. Di sana antara lain tertulis: 'Tuhan menjadikan manusia penguasa seluruh buana: matanya tembus menerus segala adangan, telinganya menangkap segala getaran, ... dan tangannya menjingkau ke balik angkasa./Dan hanyalah ketakutannya sendiri yang menjadikan makhluk utama itu ulat pada tiada berdaya. Picik matanya akan rahasia alam dan takutnya akan mati disucikannya menjadi agama./ Malasnya berpikir dan menyelidiki dinamakannya percaya. Dan akhirnya tertutuplah sekahan kemungkinan alam yang luas baginya dalam kepompong gelap yang dijalinnya sendiri.'


Agama tanpa Tuhan
Puisi ini dapat dipandang sebagai tonggak pemikiran kritis terhadap agama, yang sebenarnya mengarah kepada kritik terhadap manusia beragama, yang dianggap tidak memahami hakikatnya sebagai makhluk yang bebas sebagaimana dikehendaki Tuhan. Agama menjadi hunian manusia pengecut, manusia yang takut menghadapi rahasia alam, yang tak berani memikul tanggung jawab, yang enggan sendirian memperjuangkan sebuah cita-cita. Puisi ini menunjukkan bahwa kritik terhadap manusia beragama atas nama humanisme yang dilahirkan para pemikir Barat, telah menemukan riaknya pada pemikir dari antara bangsa kita. Sangat boleh jadi, kritik pedas terhadap manusia agama kian meluas kini di tengah bangsa kita karena berbagai alasan: karena legitimasi yang diberikan terhadap kekuasaan, karena ketakutan agama untuk menjadi suara moral di tengah sebuah proses pembiasaan kekerasan, karena berbagai konflik kekerasan bernuansa agama.
Judul puisi manusia utama mengantar orang kepada imajinasi filosofis Nietzsche dalam sosok Uebermensch, sang manusia super, yang memaklumkan kepada khalayak bahwa mereka semua telah membunuh Allah. Manusia versi Nietzsche digugat oleh pertanyaan mengenai apa yang mesti dilakukan agar dapat membersihkan diri dari percik-percik darah itu, di mana menemukan air yang dapat menjernihkan kembali dirinya.
Dengan ini Nietzsche sebenarnya mengingatkan bahwa bukan mustahil manusia kembali membentuk agama hanya sekadar untuk mengamankan diri, menenangkan batin dan merayakan kemenangannya sendiri. Karena takut menjadi manusia dengan segala tanggung jawab yang terkandung di dalamnya, karena tidak mampu menghadapi manusia lain sebagai rekan sederajat, sebab enggan berbagi ruang kehidupan dan kekayaan dunia secara adil dengan sesamanya, maka manusia menciptakan agama. Agama tidak lebih dari sarana pembenaran penguasaan manusia atas sesamanya. Agama seperti ini menjadikan dan merayakan dirinya sebagai berhala, yang berlaku absolut dan menuntut penyembahan dari semua makhluk lain. Manusia menggunakan nama Tuhan sebagai pembenaran berbagai tindakan egoistis.
Dalam kenyataan, semua itu dibangun di atas dasar pembunuhan terhadap Tuhan. Tuhan sudah dibunuh, disingkirkan dan dibuang. Sebagai gantinya, muncul orang beragama yang hendak tampil sebagai manusia super yang berkuasa mutlak, namun menggunakan nama Tuhan sebagai legitimasinya. Dalam bahasa Alisjahbana, mereka ini adalah manusia kerdil, yang bertindak karena ketakutan dan membelenggu diri dalam kepompong gelap yang dijalinnya sendiri.

Tuhan yang subversif
Sejarah kekristenan pun ditandai oleh kekerdilan yang selalu coba disubstitusi dengan kemegahan dan arogansi. Arogansi religius ini tidak selalu dinyatakan dalam tindak kekerasan. Selain mengandung risiko hukum dan mudah mengundang reaksi dunia internasional, umumnya tindak kekerasan atas agama mengandaikan komposisi demografis tertentu. Sebab itu, tidak semua arogansi keagamaan diungkapkan dalam aksi kekerasan. Namun, yang jauh lebih sering dan mudah terjadi adalah keangkuhan religius yang bercokol dalam hati dan pikiran manusia.
Natal, bagi orang Kristen, sebenarnya adalah langkah yang diambil Tuhan untuk meruntuhkan arogansi religius dalam hati dan pikiran manusia. Tuhan datang bukan pada waktu dan di tempat yang tepat. Dia memperkenalkan diri bukan kepada kelompok manusia yang dipandang sepantasnya. Waktu yang dipilihnya adalah saat para warga sibuk dengan cacah jiwa di bawah sebuah kekuasaan asing. Dia tidak datang pada masa kejayaan Israel sebagai bangsa terpilih. Sebaliknya, saat mereka sedang dijajah dan terancam kehilangan pegangan, Tuhan dilahirkan. Ini bukan waktu yang tepat untuk menerima dan merayakan Dia sebagai andalan keterpilihan. Dia memilih waktu yang tidak pernah dibayangkan sebagai saat terpilih.
Para pemimpin agama saat itu bungkam karena kehabisan argumen untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Perubahan politik telah mengantar seorang tokoh, Herodes Agung, yang bukan berdarah Yahudi, menjadi raja atas orang-orang Yahudi. Kekayaan dan pengaruh keluarga serta kelicikan pribadinya membuka jalan baginya untuk menduduki kursi penting ini. Kebingungan bertambah ketika orang yang diragukan dan patut dicurigai ini memperluas bait Allah. Dengan ini dia memecah belah para pemimpin agama dalam kubu pro dan kontra. Lembaga agama tidak sedang menampilkan sebuah kewibawaan yang diandalkan. Justru pada saat seperti itu Tuhan mengambil langkah memasuki sejarah sebagai seorang anak manusia.
Tempat kelahiran-Nya adalah sebuah wilayah kumuh, daerah gelap, daerah yang sengaja digelapkan agar tidak tampak dan yang disembunyikan di balik tirai. Dia lahir di tengah kelompok orang miskin sebagai orang miskin. Mereka ini adalah kelompok yang ditolak dan disembunyikan, yang ditutup-tutupi supaya tidak mencoreng kejayaan sebuah rezim politik dan ketunggalan kebenaran sebuah agama. Apa yang tidak semestinya, hendak disembunyikan, supaya ada kesan baik tentang rezim. Lalu, perlahan yang miskin sebagai korban ketidakadilan itu dianggap tidak ada. Pertanyaan yang seharusnya timbul karena kenyataan ini perlahan hilang. Manusia hidup seolah semuanya beres, tanpa masalah, tanpa pertanyaan yang mendesak sebuah jawaban.
Tuhan yang memilih lahir di tempat dan waktu seperti ini sebenarnya sedang melakukan subversi. Kedatangan-Nya membongkar tendensi manusia beragama yang mencari kekuasaan politik sebagai penjamin kemutlakannya dan yang mengidentikkan kebenaran agama dengan besarnya jumlah pengikut dan kemegahan lahiriah. Dia datang dalam ketidakberdayaan seorang anak kecil dari sebuah keluarga perantau miskin. Dengan ini Tuhan melancarkan protesnya terhadap pandangan umat beragama yang lebih mengutamakan hukum yang tertulis dan ajaran yang dibakukan daripada perhatian yang terarah kepada kondisi riil manusia.
Tuhan lahir tanpa perlindungan politik dan pengawalan militer, ketiadaan mantra misterius keagamaan dan jaminan para konglomerat. Dia lahir dalam kesederhanaan, dan justru di sana Dia menampilkan apa sebenarnya manusia. Yesus membebaskan manusia dari ketakutan menjadi manusia, yang sangat sering dikompensasi dalam sikap dan tindakan arogan yang merendahkan orang lain. Tidak jarang atas nama Tuhan dan di bawah bendera agama.
Ketika manusia membangun benteng politik, ekonomi, dan keagamaan untuk menyembunyikan keaslian dirinya, Natal adalah sebuah langkah subversif Tuhan untuk memberanikan manusia menjadi manusia. Saat agama terancam kehilangan kredibilitas karena diperalat oleh orang-orang yang tidak jujur, Natal adalah aksi protes dari Tuhan. Karena Tuhan datang sebagai manusia, menelantarkan manusia sama dengan mengabaikan Dia, membunuh manusia adalah pembunuhan terhadap Tuhan, dan memenjarakan orang dalam kepompong ketakutan tidak berbeda dengan merendahkan Tuhan. Agama tanpa Tuhan adalah agama tidak manusiawi, dan agama yang tidak manusia adalah agama yang membunuh Tuhan.

Oleh Budi Kleden, Dosen teologi pada STFK Ledalero, Maumere
Opini Media Indonesia 24 Desember 2009 

Gerakan ”Koin Peduli” Prita telah resmi ditutup. Total, terkumpul sekitar lima truk uang koin senilai Rp 610 juta. (Cybernews Suara Merdeka, 19/12).

BERGETAR hati saya membaca berita itu. Reaksi spontan yang  muncul adalah Tuhan itu baik, Dia tidak tidur. Sebagaimana diberitakan media, gerakan ”Koin Peduli Prita” dipicu oleh vonis Pengadilan Tinggi Banten terhadap Prita Mulyasari yang dianggap mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Pengadilan mewajibkan Prita untuk membayar denda Rp 204 juta.


Prita ibu rumah tangga sederhana tak mampu membayarnya. Tapi Tuhan itu baik.  Dia menggerakkan hati banyak orang untuk solider dan peduli. Koin demi koin pun terkumpul, tidak hanya dari mereka yang berkecukupan tetapi juga dari mereka yang hidupnya pas-pasan bahkan hidup kekurangan.

Prita telah menjadi ikon bagi orang kecil yang diperlakukan tidak adil. ”Koin Peduli Prita” telah menjadi sebuah perlawanan dan bukti bahwa Tuhan baik hati, Dia tidak tidur.

Prita bukan seorang kristiani, namun telah menggarisbawahi pesan Natal Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dan Konferensi Waligereja Indonesia (PGI-KWI ) tahun 2009, yaitu ”Tuhan itu baik kepada semua orang...”(bdk  Mzm 145:9a).  

Hakikat Natal, peringatan kelahiran Yesus, memuat dua unsur penting, yaitu kebaikan Tuhan dan solidaritas bagi manusia. Dua unsur itu berbeda namun tidak terpisahkan. Allah yang baik hati itu sekaligus mau solider kepada manusia.

Ketika merayakan Natal, sebenarnya umat kristiani merayakan kebaikan hati Allah kepada semua orang. Allah membentuk manusia sesuai dengan citra-Nya. Allah menciptakan alam semesta dan mempercayakan pada manusia untuk mengolah dan menggunakannya. Allah itu baik hati terhadap semua manusia, Dia tidak pernah membeda-bedakan, menurunkan hujan dan menyinarkan terik matahari kepada orang baik dan orang jahat.

Kebaikan hati Allah itu juga ternyata dalam solidaritas-Nya. Dia rela merendahkan diri, menjadi manusia dan tinggal di antara manusia. Allah rela menjadi kecil dan lemah karena ingin solider pada manusia agar mereka memiliki hidup.

”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh 3:16-17).

Kelahiran Yesus merupakan wujud dari solidaritas Allah pada manusia lemah. Allah mengutus Putra-Nya untuk menyatakan kebaikan-Nya, untuk membagikan kehidupan dan keselamatan, bukan untuk menghakimi dan menghukum. Dengan demikian, merayakan Natal berarti merayakan kebaikan Allah sekaligus merayakan solidaritas.

Sejalan dengan itu, pesan Natal PGI-KWI tahun 2009 mengajak seluruh umat kristiani di Indonesia untuk menjadi agen yang menghadirkan kebaikan Tuhan dan solidaritas.

Pertama, sebagai pribadi yang beriman, umat kristiani dipanggil untuk selalu menyadari dan menghadirkan kebaikan Tuhan.  Itulah panggilan dan perutusan para murid-murid Yesus, yaitu menghadirkan kasih Allah terhadap sesama  manusia. Konkretnya, kita dipanggil bukan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan untuk mengalahkan kejahatan dengan kebaikan Tuhan. Dengan begitu, kita menghadirkan kebaikan Tuhan di dunia supaya Allah di surga semakin dimuliakan.

Bekerja Sama

Kedua, sebagai warga negara yang baik, umat kristiani dipanggil untuk bekerja sama dengan umat beragama lain  ambil bagian dalam usaha menyejahterakan masyarakat. Itu berarti terlibat aktif dan bekerja sama dengan semua orang yang mempunyai keprihatinan tulus dalam membangun masyarakat Indonesia sejahtera yang menghargai perbedaan, menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, dan membangun solidaritas untuk kesejahteraan bersama. Konkretnya, kita dipanggil untuk mengawasi jalannya pemerintahan supaya benar-benar menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat dengan melawan segala bentuk penidasan, ketidak-adilan dan pemiskinan.

Ketiga, sebagai warga semesta, umat kristiani dipanggil untuk memelihara keutuhan ciptaan. Membuang dan mengelola sampah dengan benar, menanam pohon pada lahan kosong, membuat lubang resapan biopori, menghemat penggunaan listrik, air,  dan kertas dan sebagainya dapat menjadi bentuk-bentuk solidaritas kita pada alam ciptaan. Dalam upaya-upaya pelestarian lingkungan dan keutuhan ciptaan, umat kristiani hendaknya tidak hanya menjadi pelaksana, tetapi menjadi pemrakarsa yang aktif memelihara keutuhan ciptaan.

”Koin Peduli Prita” telah menjadi bahasa solidaritas, bahkan menjadi bahasa peduli Allah yang baik hati. Kemajuan teknologi informasi, memungkinkan kepedulian dan solidaritas tercipta dalam hitungan detik, bahkan ke seluruh penjuru dunia. Prita telah menjadi bukti bahwa yang kecil itu mempunyai kekuatan yang hebat bila digalang solidaritas. Kepedulian dan solidaritas yang meretas batas-batas suku, agama, ras, dan golongan merupakan kekuatan baru untuk memperjuangkan kesejahteran bersama.

Natal itu merayakan kebaikan Tuhan dan solidaritas. Kebaikan Tuhan harus dihadirkan dengan menggalang solidaritas untuk melawan ketidak-adilan, ketamakan, keserakahan, penindasan dan kekuatan-kekuatan antisolidaritas yang merusak relasi antarmanusia dan merusak keutuhan ciptaan.

Kita masih mempunyai agenda-agenda besar bagi bangsa ini. Sekalipun demikian kita tidak harus mulai dengan hal-hal besar. Melakukan hal-hal kecil namun dengan semangat solidaritas dan kepedulian menjanjikan sesuatu yang mengagumkan. Dan jangan dilupakan bahwa Tuhan Yesus justru memulai karya besar keselamatan dengan merendahkan diri, dengan menjadi bayi kecil di Betlehem dan dengan solider pada mereka yang lemah.
Selamat Natal 2009 dan Tahun Baru 2010. (10)

â€" M Kristiyanto Pr, rohaniwan, bekerja di paroki Katedral dan Campus Ministry Unika Soegijapranata, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 24 Desember 2009

Jika ada sebuah negara yang wajah penguasanya compang-camping karena perangai buruk yang tidak terpuji, maka itu adalah negara Indonesia. Juga, bila ada sebuah bangsa yang moralitas para pemimpinnya teramat rendah lantaran acap kali berperilaku tercela yang melanggar etika, itu adalah bangsa Indonesia. Bayangkan, bertahun-tahun bangsa ini dikendalikan elite-elite politik dan para penguasa korup yang bersemayam di badan-badan negara: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.


Kita baru saja sukses menyelenggarakan pemilu demokratis yang menghasilkan anggota parlemen dan pasangan presiden-wapres baru. Namun, pemerintahan baru yang belum genap berusia 60 hari diguncang megaskandal Bank Century. Masyarakat mendakwa, para politisi pemburu kekuasaan telah menilap dana talangan untuk membiayai Pemilu 2009 melalui rekayasa penyelamatan Bank Century. Praktik politik di Indonesia memang sarat dengan korupsi sehingga melahirkan politisi dan penguasa yang sejatinya cacat moral.

Politisi dan penguasa cacat moral ini tergambar dalam perilaku sosial, seperti merampas hak-hak dasar masyarakat, membohongi publik, dan mengkhianati amanat rakyat untuk menjalankan pemerintahan yang adil. Sungguh, kita sedang menghadapi problem kronis, yakni praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan pejabat publik. Bertahun-tahun masalah korupsi menjadi kontroversi, tapi tidak pernah ada penyelesaian yang tuntas dan memuaskan. Penyebab utama mengapa kita sulit memberantas praktik korupsi adalah kekuasaan tanpa kontrol.

Bahkan tidak ada instrumen hukum yang secara efektif dapat mencegah praktik tercela ini karena hukum pun telah terkontaminasi dan menjadi lumpuh oleh dahsyatnya pengaruh politik uang. Di tengah-tengah maraknya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, masih relevankah kita mendiskusikan isu moralitas publik? Atau, masih layakkah kita berharap akan lahir pribadi-pribadi mulia yang menduduki jabatan publik dengan integritas moral yang terjaga? Boleh jadi membicarakan isu moralitas publik di tengah-tengah merajalelanya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan merupakan langkah sia-sia belaka.

Demikian pula berharap akan lahir sosok pemimpin yang bersih dengan moralitas terpelihara merupakan suatu bentuk kenaifan yang sempurna, bak merindukan burung gagak berbulu putih. Meski demikian, seruan moral melalui ruang-ruang publik tetap harus dikumandangkan. Upaya melawan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik perlu dilakukan secara terus-menerus melalui berbagai macam cara dan pendekatan. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan moralitas publik?

Seorang ahli filsafat etika mendefinisikan: 'Public morality is an ethic of the community which is concerned with dicency and civility and is a degree of ethical concensus which is recognized in public policy and is, sometimes, supported by law' (Galston, 1999). Pengertian itu mengandaikan bahwa setiap kedudukan atau jabatan publik yang (i) berpengaruh luas terhadap hajat kehidupan masyarakat, (ii) berkenaan dengan kebijakan dasar dan keputusan penting yang dibuat untuk dan atas nama rakyat, serta (iii) bertumpu pada sumber daya yang dimiliki masyarakat baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun politik, maka harus mengedepankan prinsip-prinsip dasar moralitas yang berlaku di dalam masyarakat.

Prinsip dasar moralitas menyangkut tiga hal yang sangat fundamental. Pertama, setiap individu yang memangku jabatan publik harus bersedia menunaikan kewajiban secara benar dan bertindak menurut norma dan nilai kepatutan yang berlaku di dalam masyarakat. Sebab setiap produk kebijakannya serta langkah dan perilakunya akan berimplikasi luas terhadap kehidupan masyarakat. Kedua, kejujuran, kebajikan, dan kearifan merupakan standar moral yang diperlukan bagi seorang pejabat publik, agar kebijakan-kebijakan yang dibuatnya dapat memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat luas.

Ketiga, pejabat publik disyaratkan untuk tidak mempunyai vested interest, yang dapat mengganggu kelancaran dan kebersihan pekerjaannya. Oleh karena itu, mereka juga harus mampu menghindar dari jebakan konflik kepentingan antara tanggung jawab sebagai pejabat publik dan segala bentuk keinginan dan tuntutan yang bersifat personal. Di dalam kajian administrasi publik modern, seorang yang memangku jabatan publik yang bertugas memberikan pelayanan bagi kepentingan masyarakat luas harus mempunyai kualitas moral atau standar etika.

Hal itu diperlukan untuk menghindari pengkhianatan atas amanat jabatan publik yang disandangnya dan mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan yang diembannya. Menurut William Bruce dalam Classics of Administrative Ethics (2001), paling kurang ada tujuh kualitas moral yang harus dipunyai seorang pejabat publik. Pertama, ketepercayaan yang mensyaratkan seorang pejabat publik harus mampu mengemban amanat yang dipercayakan kepadanya dan bersedia menunaikan kewajiban menurut aturan hukum dan pedoman etik yang berlaku.

Kedua, kejujuran merupakan salah satu nilai etik yang sangat fundamental, yang ditandai sikap terbuka, tidak pernah mengecoh apalagi berbohong dalam menyampaikan informasi kepada publik, dan bersedia mengungkapkan sesuatu hal yang menjadi perhatian dan kepentingan masyarakat secara benar. Ketiga, integritas adalah suatu kualitas pribadi yang mencerminkan kecerdikan, kesungguhan, keutuhan, dan kesediaan untuk bertindak serta berlaku bijak dalam mengemban tugas demi kepentingan dan kemaslahatan bersama.

Keempat, loyalitas merupakan suatu sikap pribadi yang teguh dan konsisten dalam membela dan menjaga kepentingan pekerjaan, jabatan, dan organisasi, yang dilandasi nilai-nilai etika yang berlaku umum. Namun, penting dicatat bahwa loyalitas itu tidak sama-sebangun dengan kepatuhan buta, yang tanpa dilandasi kesadaran moral dan etika. Kelima, tanggung jawab adalah suatu sikap pribadi yang bersedia untuk mengemban tugas dan amanat secara tulus berdasarkan kepercayaan yang telah diberikan, yang dibuktikan dengan usaha dan kesungguhan dalam bekerja guna meraih prestasi maksimal.

Penting dicatat bahwa tanggung jawab mutlak mensyaratkan akuntabilitas yang seharusnya dapat diuji secara publik. Keenam, keadilan adalah suatu sikap moral yang bersedia bertindak secara fair serta dalam membuat keputusan dan kebijakan selalu berdasarkan pada prinsip kesetaraan, keterbukaan, proporsionalitas, dan imparsialitas guna menjamin rasa keadilan bagi segenap masyarakat. Ketujuh, kesadaran berwarga negara merupakan prinsip moral dasar yang merujuk pada kesadaran etis sebagai seorang warga negara, untuk bersedia berperilaku baik, sadar, dan patuh pada hukum serta mendasarkan setiap tindakannya pada--meminjam istilah kaum komunitarian--civic virtue.

Yaitu suatu sikap moral pribadi yang bersedia menempatkan suatu kebajikan bersama demi kepentingan masyarakat umum, yang melampaui kebaikan yang bersifat personal--the disposition to place the good of the community above one's personal good. Jika kita merenungkan secara mendalam, tampaknya banyak pejabat publik tidak punya prinsip-prinsip dasar moralitas yang baik dalam menjalankan administrasi pemerintahan. Perilaku menyalahgunakan kekuasaan, menyelewengkan kepercayaan, mengkhianati amanat, dan membohongi publik tampaknya sudah menjadi fenomena umum, yang hampir setiap hari dipertontonkan di hadapan masyarakat.

Sungguh, mereka sudah tak lagi mengenal moralitas publik yang seharusnya dipegang teguh, dirawat, dan dipelihara agar dapat mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai abdi negara, guna memberikan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat secara baik. Moralitas publik tampaknya sudah tergerus oleh mentalitas korup sehingga yang muncul adalah perlombaan untuk memperkaya diri dan tanpa malu mendemonstrasikan kemewahan, sekalipun jalan yang ditempuh adalah mencuri uang rakyat.

Oleh Amich Alhumami Peneliti sosial, Department of Anthropology, University of Sussex, United Kingdom
Opini Media Indonesia 23 Desember 2009

Dalam masyarakat yang demokratis akan lahir undang-undang yang responsif.
Undang-undang yang baik, hanya bisa dihasilkan oleh lembaga dan iklim yang baik

POLITISASI hukum adalah penyimpangan atau pembelokan dalam penegakan ataupun pembuatan hukum. Politisasi menyebabkan hukum tidak berfungsi secara filosofis, sosiologis, ataupun yuridis. Contoh politisasi dalam penegakan hukum yang aktual adalah kasus Prita Mulyasari, kasus Bibit Chandra, dan sebagainya. Kasus politisasi pembuatan hukum misalnya kasus UU Kesehatan, UU Peradilan Tipikor dan sebagainya.


Politisasi dalam pembuatan hukum khususnya undang-undang, memperlihatkan adanya iklim dan faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa lahir undang-undang yang tidak responsif. Maka tidak aneh kalau Satjipto Rahardjo, menyebut biasanya undang-undang sudah cacat sejak lahir.Sementara UU yang ideal, yang responsif, sesuai dengan idealisasi rakyat, hanya bisa dilahirkan dalam sistem dan kultur yang kondusitf untuk itu.

Sistem otoriter atau demokrasi dalam sebuah negara menentukan kecenderungan politisasi dalam pembuatan undang-undang. Makin otoriter kecenderungan munculnya politisasi makin besar. Ukuran sebuah negara semakin demokratis menurut Samuel P Huntington adalah jika ada pemilu yang bebas, lembaga perwakilan yang mandiri, pers yang merdeka, penghormatan HAM, dan kemerdekaan berserikat. Jika sebaliknya yang terjadi maka cenderung ke sistem otoriter .   

Sistem Otoriter, terlihat dalam beberapa kurun waktu di Indonesia. Artinya sistem otoriter dan demokrasi saling silih berganti, bahkan sering tidak dalam bentuk hitam putih. William Liddle menyebutkan sejak 5 Juli 1959 lahir demokrasi terpimpin, sejak itu demokrasi berakhir. Adpun Edward Smith menyebutkan dalam era demokrasi terpimpin, partai oposisi dilarang, DPR dibubarkan, pers hanya alat propaganda pemerintah. Bahkan Hasnan Habib pernah berpendapat bahwa Indonesia negara otoriter bersama China, Iran, dan Arab Saudi.

Tjipta Lesmana menyimpulkan bahwa pemerintah Orde Baru cenderung otoriter. Hinca Pandjaitan menambahkan masa Orde Baru, hukum media didesain untuk melestarikan kekuasaan. Sementara Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa Petisi 50 hadir untuk melawan rezim otoriter. Data Freedom House menunjukkan ranking demokrasi Indonesia, masih di atas 75 dari 150 negara
Iklim yang Baik Dalam masyarakat yang demokratis akan lahir undang-undang yang responsif. Undang-undang yang baik, hanya bisa dihasilkan oleh lembaga dan iklim yang baik. Menurut Muladi, undang-undang harus menampung aspirasi nasional dan standar internasional. Undang-undang yang ideal, harus merumuskan dengan jelas dan sistematis mengenai kebijakan yang akan dicapai, dengan menangkap aspirasi rakyat secara cermat.

Adapun Philippe Nonet dan Philip Seznick menyebutkan hukum yang responsif akan bisa menjaga aspirasi publik tekanan politik kekuasaan. Jika hanya melayani kepentingan kekuasaan, menjadi hukum yang represif.  

Mahfud MD dan Padmo Wahyono berpendapat hukum merupakan produk politik karena undang-undang tidak bisa menghindari pengaruh politik, dan merupakan hasil persaingan aspirasi politik. Dalam menerjemahkan politik, hukum menjadi undang-undang yang responsif (adil, pasti, dan berguna) karena tekanan politik, ekonomi, dan sosial budaya, bisa terjadi politisasi hukum.

Umumnya proses legislasi (legal drafting) di DPR pada era 1980-1990-an, diwarnai oleh dominasi eksekutif sebagai perancang undang-undang, kelemahan kemampuan para legal drafter di parlemen, posisi politis parlemen yang lemah (kasus hak inisiatif UU Pers). Dominasi kekuasaan politik yang dikendalikan pemerintah, terutama Presiden terlihat pada UU Pers Nomor 21 Tahun 1982. Peraturan pemerintah tentang hak jawab dan hak tolak, tidak pernah diterbitkan. Yang ada Permenpen Nomor 01 Tahun 1984 yang justru bertentangan dengan prinsip tidak ada sensor dan breidel. Politisasi yang paling mencolok, terjadi pada UU Penyiaran Nomor 24 Tahun 1997, karena ada kepentingan kelompok bisnis yang tidak bisa diakomodasikan saat pembahasan di DPR. Akhirnya presiden dengan kekuasaannya mengembalikan RUU ke DPR lagi.

Potret demokratisasi paska Reformasi 1998, ditandai dengan amandemen UUD 1945, lahirnya UU Pers Nomor 40 Tahun 1999), UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, UU Penyusunan UU Nomor 10 Tahun 2004). Walaupun masih belum sempurna di sana-sini, ada situasi yang lebih baik untuk melahirkan UU yang lebih responsif.

Mulai tahun 1999, ada tanda-tanda lahirnya UU yang reformis dan responsif, seperti UU Referendum No 6 Tahun 1999, UU Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999), UU Pemberantasan KKN Nomor 28 Tahun 1999), UU tentang HAM Nomor 39 Tahun 1999), termasuk UU Pers  Nomor 40 Tahun 1999. Lahir pula UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, yang mengadopsi berdirinya Komisi Penyiaran Indonesia, penyiaran publik dan komunitas, wilayah jangkuan siaran, dan aspirasi demokratis yang lain.

Politisasi penegakan hukum media, penyelesaian politis kasus-kasus media, dengan pembredelan, pencabutan surat izin terbit, surat izin cetak, dan pembatalan SIUPP, terjadi sepanjang era Orde Baru. Misalnya kasus Indonesia Raya dll (1974), Kompas dll (1978), Pelita dll (1982), Jurnal Ekuin (1983), Sinar Harapan (1986), Prioritas (1987), Tempo dkk (1984). Di sisi lain untuk media penyiaran, perlakuan di luar hukum terjadi pada pelarangan pembuatan berita, larangan siaran langsung, larangan menampilkan tokoh tertentu seperti Rhoma Irama, Wimar Witular dan sebagainya.

Politisasi hukum media, khususnya dalam pembentukan perundang-undangan, bisa terjadi secara substansi ataupun prosedural. Pembreidelan, larangan penyiaran berita, adalah contoh-contoh politisasi substansi. Pengaturan melalui peraturan pelaksana, dan proses menyimpang dalam pembahasan UU, adalah contoh politisasi prosedural.

UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan model UU yang lebih aspiratif, sesuai dengan misi hukum, karena dibuat dalam kondisi demokrasi yang lebih baik. Walaupun masih ada kekurangan di sana sini yang masih bisa diperbaiki lagi untuk menuju model  yang lebih ideal, dengan prasyarat kondisi demokrasinya dan penanganan legal drafting-nya harus lebih baik.

Lembaga pembuat hukum, baik presiden maupun DPR harus mempunyai komitmen sama, untuk menerjemahkan falsafah negara, konstitusi, aspirasi masyarakat, referensi internasional, untuk melahirkan undang-undang yang sesuai kebutuhan rakyat, menjamin keadilan dan kepastian hukum. Kemampuan maupun pemahaman legal drafting, harus terus ditingkatkan, agar tertutup celah secara teknis untuk masuknya politisasi hukum.

Masyarakat luas, terutama kalangan media, harus diberi akses yang terbuka untuk ikut memantau proses ataupun materi perundang-undangan yang sedang dibahas di DPR. Bahkan sejak diproses sebagai usulan, baik di DPR maupun di pemerintah. Kalangan akasdemisi hukum, agar terlibat aktif dalam memantau substansi maupun perumusan teknis dalam penyusunan undang-undang. (10)   

â€" Bambang Sadono SY, peserta program doktor bidang hukum Universitas Diponegoro
Wacana Suara Merdeka 23 Desember 2009

MENANTI tersangka baru kasus korupsi, setelah Bupati Brebes Indra Kusuma ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK (SM,16 Desember) seperti menunggu gerakan keong.

Artinya menunggu sebuah kepastian mengingat binatang itu merayap pelan tapi pasti. Pertanyaannya apakah kasus itu bisa terkuak tuntas? Jawaban ini ditunggu semua elemen masyarakat Kota Bawang yang ingin mengawal clean government di daerah yang dikenal sebagai sentra telur asin tersebut.


Laporan masyarakat kepada KPK sejak tahun 2003 sampai sekarang, walaupun sudah menetapkan tersangka, belum bisa menemukan dalang korupsinya.

Adapun penanganan korupsi di daerah lain, bahkan daerah tetangga, terkuak jelas dan cepat.

Sebagian masyarakat kota Brebes tahu bahwa tim KPK turun ke daerah itu untuk memeriksa sejumlah pejabat pada 23-26 Januari 2008, disusul 29 April 2009, 1 Mei 2009, dan terakhir 14-15 Desember lalu.

Pemeriksaan dilakukan di hotel, ruang kerja pejabat itu, bahkan ada yang dipanggil ke Jakarta. Bolak-baliknya beberapa orang dipanggil ke Jakarta seperti mengindikasikan sulitnya menguak kasus itu.

Sejumlah kasus yang dilaporkan masyarakat antara lain mark up dalam pembebasan tanah, pengadaan buku ajar Balai Pustaka (BP) dan alat-alat kesehatan (alkes), beberapa proyek DPU, asuransi fiktif anggota DPRD 1999-2004, APBD 2003-2005 dan sejumlah kasus lainnya yang menyangkut pertanggungjawaban dana senilai lebih dari Rp 50 miliar.

Selama ini hasil atas pemeriksaan beberapa pejabat tidak jelas juntrungnya. Ketidakjelasan ini melahirkan berbagai tanggapan, antara lain KPK kurang tegas.

Indra Kusuma, yang telah dua kali menjabat bupati di daerah  itu, dijerat KPK dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

Pasal 2 UU itu menyebutkan:

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3 menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20  tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Seperti diberitakan harian ini, modus yang disangkakan kepada Indra Kusuma adalah menggelembungkan dana pengadaan tanah 2.000 m2 untuk pembangunan pasar (APBD 2003), dalam dua tahap, yang  merugikan negara Rp 5 miliar.

KPK mengambilalih persoalan ini awal 2008 setelah kasus ini terkatung-katung di Kejaksaan Negeri dan Polres Brebes. Kini masyarakat menunggu kelanjutan pengusutannya karena mereka tahu karupsi tidak mungkin dilakukan seorang diri.

Pembiaran yang hanya menjerat Indra Kusuma seyogianya tidak berlarut-larut. Jangan sampai ada kesan KPK tebang pilih. Terlebih lagi di Brebes ada anggapan miring bahwa daerah itu lahan subur bagi para koruptor. Jadi, jika mau korupsi datang saja dan jadilah pejabat di Brebes.

Ini menyakitkan bagi masyarakat, apalagi penegakan hukum di daerah itu masih dirasakan tebang pilih oleh sebagian orang. Langkah yang diambil para hamba wet belum terbukti keampuhannya untuk menjerat pelaku koruptor, termasuk mereka yang melakukannya secara berjamaah di semua lini kehidupan.
Menuai Hasil Terlepas dari siapa yang menjadi tersangka, kita harus bersyukur kepada Allah SWT karena perjuangan memberantas korupsi mulai menuai hasil. Selama ini perjuangan aktivis antikorupsi menjadi cibiran mereka yang tidak mendukung gerakan pemberantasan korupsi.

Pergantian personel aparat penegak hukum, termasuk wakil rakyat, belum memberikan bukti nyata dan efek jera bagi koruptor. Janji perbaikan, perubahan, membela rakyat, hanya dilontarkan saat kampanye atau pengucapan sumpah jabatan.

Kita berharap masih ada hati nurani di hati para pejabat untuk menegakkan kejujuran sebagai modal dasar kehidupan anak cucu kita, pewaris Brebes.

Masyarakat harus lebih bersatu. Mahasiswa, petani, ulama, anggota LSM, anggota organisasi kemasyarakatan atau kepemudaan, media, kaum profesional, bahkan PNS, harus seia sekata melawan koruptor.

Dijadikannya bupati sebagai tersangka harus menjadi pelajaran penting bagi sejarah Brebes, agar di kemudian hari pemimpin tahu bahwa sesungguhnya kekuasan itu amanah rakyat.

PNS juga  harus mereformasi diri dalam pemberantasan  korupsi di tempat kerjanya. Gratifikasi, hadiah, cenderamata, yang merupakan bagian budaya korupsi harus dihilangkan.

Masyarakat Brebes masih ingat bahwa hasil audit BPK tanggal 13 Maret 2008 pada APBD 2008 menemukan 42 dugaan kasus korupsi, tercatat pada Disdik, DPU, Dinkes, RSUD, Dishub dan setda.(10)

â€" Karno Roso, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Komunikasi Strategis Undip
Wacana Suara Merdeka 23 Desember 2009


Warga Bogor bagai dipermalukan oleh 15 remaja bule, pelajar Jakarta International School. Di hari libur kemarin, di saat mayoritas remaja kita jalan-jalan ke mal, para remaja bule itu malah memunguti sampah di sepanjang Jalan Soleh Iskandar. Kalau warga Bogor tidak malu, ya.. keterlaluan.

Pemandangan unik itu ditangkap wartawan Jurnal Bogor di dekat pertigaan Yasmin, tepat tengah hari kemarin. Ternyata para remaja bule itu sejak pagi sudah membersihkan sampah di sepanjang Jalan Soleh Iskandar. ‘’Kebetulan, kami mengisi liburan di Bogor. Begitu melihat sampah, tidak enak dipandang. Kami bersihkan,’’ kata Maria Bianea Vega, asal Australia, kepada Jurnal Bogor.

Para remaja bule ini bukan sengaja meledek warga Bogor. Mereka juga tidak bekerja setengah hati. Bahkan, mereka tidak butuh pujian untuk kegiatannya itu. Teriknya sinar matahari yang memanggang tubuh mereka, tak membuat mereka loyo. Justru mereka terlihat bersemangat. Namun, sesekali mereka mengusap keringat yang membasuh wajahnya. ‘’Bogor is really hot,’’ ujar Maria. Maklum, di negara mereka barangkali suhunya lebih segar, sebab tidak ada sampah di jalanan.

Menurut Maria, ia dan 14 orang temannya membersihkan sampah di sepanjang jalan tersebut karena merasa prihatin melihat banyaknya sampah di jalan.
"Ketika melihat banyak sampah di jalan itu kami langsung turun dan memungutinya. Kalau bukan kita semua, siapa lagi yang peduli dengan kebersihan," tutur Maria. Ucapannya seperti dia warga Bogor saja.

Maria menambahkan, selain memunguti sampah, me-reka pun menanam seratus pohon di sepanjang median jalan tersebut. "Kami juga menanam pohon di median jalan tersebut. Lihat aja tuh, gersang sekali. Mudah-mudahan apa yang kami lakukan bisa menggugah masyarakat lainnya, sekaligus dapat mengurangi efek pemanasan global," ujarnya dengan bahasa Indonesia yang terputus-putus.

Lebih lanjut Maria menambahkan, kepedulian terhadap kebersihan ini bukan untuk mencari sensasi, tapi sebagai bentuk kepedulian terhadap masalah kebersihan.
"Kami tinggal di Indonesia, jadi kamipun mencintai Indonesia termasuk Kota Bogor. Kalau bukan kita yang menjaga kebersihan kota dan bangsa ini, siapa lagi," ungkapnya seraya mengajak masyarakat Bogor untuk peduli terhadap kebersihan dan ikut menanam pohon di daerah yang gersang.

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/