Dengar-dengarâ€"â€"bahasa Jawanya krungu-krungu, bahasa Belandanya horenhorenâ€"â€", DPR mau bikin pansus lagi. Pansus Susno Duadji. Pasalnya, mantan Kabareskrim itu bersaksi yang meringankan terdakwa Antasari Azhar.

Maka demi kebenaran, demi kejujuran, demi bangsa, demi rakyat, bahkan demi Tuhan perlu dibentuk pansus untuk klarifikasi. Namun krungu-krungu juga, anggaran biaya satu pansus bisa miliaran rupiah. Padahal Pansus Bank Century saja belum jelas juntrungannya, malah kita disuguhi adegan saling caci-maki antarsesama anggota Pansus.

Meskipun setelahnya mereka bersalaman dan berangkulan, yang timbul dalam benak saya adalah ketidakpercayaan apakah Pansus ini benar-benar mampu mengungkapkan kebenaran? Di sisi lain, juga krungu-krungu, katanya buku Gurita Cikeas sangat dicari orang yang ingin tahu sampai berapa besar korupsi yang dilakukan oleh keluarga Cikeas dan kronikroninya? Krungu-krungu, kata televisi, buku itu dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung.

Walaupun dibantah oleh Kejaksaan Agung, nyatanya memang di toko-toko buku tidak ada. Namun, beberapa hari terakhir, saya lihat buku Gurita Cikeas dijual asongan di setiap perempatan jalan di Jakarta. Ratusan, mungkin ribuan eksemplar. Namun sejauh ini saya belum melihat ada penumpang kendaraan yang membeli buku itu. Saya juga tidak menemukan yang sudah membelinya di antara teman-teman saya.

Saya jadi tidak percaya lagi, benarkah buku ini begitu dicari oleh masyarakat? Saya sendiri tidak membeli karena saya pikir isinya tidak jauh-jauh dari apa yang selama ini diperbincangkan hebat sekali di televisi. Untungnya di televisi juga ada sinetron. Saya tidak suka sinetron. Khayal, isinya kebohongan melulu dan tidak jauh-jauh dari persoalan harta, warisan, cemburu, dan fitnah.

Saya suka menegur istri saya kalau dia sedang asyik menonton sinetron. Namun dia menjawab, “Berita televisi isinya juga sama. Gak jauh-jauh dari duit, cemburu sosial, dan fitnah. Tetapi nonton sinetron santai, gak pusing seperti nonton berita.”

Namun akhirnya setiap malam percekcokan rumah tangga itu selesai ketika pukul 21.30 WIB Reynaldi Arwana mulai acara krungu-krungu-nya. Anehnya, dalam acara itu Tukul dan tamu-tamunya juga saling mengejek dan mencela, tetapi tidak ada yang sakit hati. Malah semua tertawa, termasuk saya dan istri yang menonton di rumah. Mengapa beda banget dengan diskusi di Pansus?

Zaman Dulu

Di tahun 1950-an, waktu saya masih di SD dan SMP, saling maki dan saling fitnah juga saya baca setiap hari di koran-koran. Begitu juga saya sering mendengar almarhum eyang kakung saya yang mantan aktivis Sarikat Islam dan ibu saya yang anggota DPRD Kota Tegal berdiskusi soal politik ketika itu.

Zaman itu adalah zaman demokrasi liberal (sebelum Bung Karno pada 1959 mendekritkan kembali ke UUD 1945). Setiap partai politik punya koran sendiri. PNI (nasionalis) punya Suluh Indonesia, PSI (sosialis) punya Pedoman, dan PKI (komunis) punya Harian Rakyat.

Partai lain juga punya, tetapi saya lupa nama-namanya. Koran-koran itu saling memaki, mengkritik, dan kabinet juga silih berganti, jatuh-menjatuhkan, bahkan ada kabinet yang hanya berumur tiga bulan. Namun ketika itu belum ada televisi dan radio juga hanya ada RRI. Gejala krungu-krungu sudah ada, tetapi tidak terlalu bikin pusing orang awam karena tidak diartikulasikan oleh media massa televisi yang daya pengaruhnya jauh lebih besar dari media cetak dan radio.

Di zaman sekarang yang sudah ada puluhan stasiun televisi di Indonesia (tidak termasuk televisi kabel), dampak krungu-krungu itu jelas jauh lebih dahsyat. Wapres Boedionoâ€"â€"bersama Presiden SBYâ€"â€"yang sudah jelas-jelas dipilih oleh lebih dari 60 persen rakyat dalam pemilu yang mulus, aman, bebas dari kekerasan, dan sah menurut konstitusi bisa diminta mundur hanya oleh 30 orang anggota Pansus yang di antara mereka sendiri pun masih saling mencaci-maki.

Apalagi hanya seorang menteri yang namanya Sri Mulyani. Silakan saja seluruh dunia menobatkannya sebagai menteri keuangan terbaik sedunia, tetapi Pansus lebih hebat. Padahal dasarnya hanya krungu-krungu karena pemeriksaan memang belum tuntas. Mentalitas krungu-krungu inilah yang merupakan salah satu “penyakit” bangsa kita sekarang. Baru dengar-dengar sedikit sudah bereaksi. Opini publik cepat sekali terbangun dan masyarakat, dengan dipelopori para elite politik dan pakar/pengamat asli maupun jadi-jadian, cepat sekali bergerak.

Unjuk rasa, bikin petisi, bakar ban, dorong-dorongan lawan polisi, lempar-lempar kaca, rusak-rusakan dan semua konflik etnik, religi, dan antargolongan yang terjadi di era Reformasi ini, semua hanya bersumber pada krungu-krungu. Celakanya, kalau untuk merusak cukup bersumber pada krungu-krungu, untuk membangun tidak bisa hanya berdasar krungu-krungu.

Untuk membangun perlu ada penelitian, analisis dampak lingkungan, rencana anggaran dan seterusnya, yang makan waktu lama karena perlu pemikiran yang serius. Nah, dalam keadaan kehancuran bangsa ini sejak lebih dari 10 tahun yang lalu belum pulih total, kita sudah mau hancur-hancuran lagi, yang konon demi rakyat sampai demi Tuhan itu. Terus apa yang hendak kita capai sebenarnya?(*)

Sarlito Wirawan Sarwono
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Persada Indonesia  

Opini Okezone 15 Januari 2010

Oleh AM Fatwa
Perintis Berdirinya MUI DKI
tahun 1973

Ulama dan partai politik memiliki tujuan yang mulia untuk perbaikan kehidupan masyarakat. Ulama mengacu pada otoritas intelektual dan spiritual di mana masyarakat menjadikannya sebagai rujukan kehidupannya. Sementara itu, partai politik memiliki peran dan otoritas untuk menentukan eksistensi kepemimpinan untuk menciptakan keteraturan kehidupan masyarakat dengan melaksanakan fungsinya, seperti melaksanakan manajemen konflik.

Dalam Islam, kepemimpinan merupakan sebuah kemestian untuk menjamin integrasi dan kohesi sosial. Dalam konteks ini, peran partai politik dalam proses penentuan eksistensi kepemimpinan menjadi sebuah kewajiban. Oleh karena itu, yang diharapkan adalah peran dan otoritas masing-masing ulama dan partai politik yang dapat menciptakan kehidupan aman, tertib, teratur, nyaman, dan tenteram.

Dilema peran

Belakangan ini, peran ulama dihadapkan pada dua pilihan dilematik antara partai politik dan pembangunan umat. Dalam kenyataannya, terjunnya ulama ke dalam partai politik umumnya menyebabkan tidak fokusnya atau bahkan terabaikannya perhatian ulama pada pembangunan umat. Padahal, pembangunan umat memerlukan totalitas perhatian dari para ulama agar umat tidak kehilangan rujukan keteladanan dalam kehidupannya.

Di sisi lain, partai politik yang diharapkan sebagai media untuk lebih memperbaiki dan memberdayakan kehidupan umat justru sering menjadi bagian dari masalah yang perlu diselesaikan oleh ulama. Akibatnya, partai politik bukan menjadi media solusi, tetapi justru menjadi bagian dari problem. Bahkan, peran ulama dalam partai politik yang diharapkan mampu memberi warna moral bagi dinamika politik ternyata tidak juga terwujud secara maksimal.

Akibatnya, kesan bahwa politik sebagai praktik yang kotor tetap melekat dalam memori masyarakat seiring dengan perilaku menyimpang yang diperlihatkan oleh beberapa politikus. Kondisi tersebut menunjukkan anomali peran ulama. Satu kaki berpijak di politik praktis, tapi kaki yang lain masih berpijak pada ranah dakwah.

Akibatnya, gerak transformasi yang seharusnya diperankan oleh ulama secara maksimal berjalan lamban, bahkan bisa mengorbankan dua-duanya, yaitu politik praktis dan dakwah. Dalam kondisi demikian, ulama dalam partai politik telah mempersempit ruang perannya yang begitu luas dan universal.

Peran ulama yang awalnya melampaui sekat-sekat partai politik menjadi terfokus pada prosesi suksesi kepemimpinan sesuai dengan kepentingan partai politik. Karena itu, ketika ulama terlibat dalam politik praktis, sesungguhnya ia telah mempersempit ruang amal dan pengabdiannya bagi umat. Ia mengotak-kotakkan dirinya dalam sekat-sekat partai politik dan menjadi bagian partisan visi dan misi partai tertentu.

Padahal, visi dan misi seorang ulama begitu luas, mulia, dan universal. Keuniversalan peran ulama berlangsung ketika ulama tidak menyekat dirinya dalam kepentingan kelompok-kelompok tertentu, termasuk kepentingan partai politik. Ketika ulama menyekat dirinya dalam partai politik tertentu, tugas universal keumatan dengan sendirinya terdistorsi.

Lebih dari itu, keterlibatan ulama dalam partai politik rentan bagi terjadinya politisasi umat dengan menjadikan umatnya sebagai kekuatan yang dimobilisasi bagi kepentingannya dengan mengabaikan etika universal keulamaannya.

Sumbangsih ulama
Peran ul ama dalam pemberdayaan umat sesungguhnya akan menjadi amal jariah bagi partai politik ketika para ulama berhasil memberi landasan dan penjaga moral politik bangsa.

Pemberdayaan yang dilakukan oleh para ulama melalui dakwah atau gerakan sosial bisa melahirkan generasi yang mumpuni secara moral bagi seluruh kegiatan masyarakat di berbagai level kehidupan, termasuk dalam kehidupan politik. Peran ulama tersebut telah dibuktikan dalam sejarah negeri ini. Hadirnya para tokoh agama (ulama) yang menjadi perintis perjuangan dan pendorong pembebasan masyarakat dari segala bentuk kebodohan dan keterbelakangan adalah bukti konkret sumbangsih ulama bagi negeri ini.

Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keberadaan para ulama yang menjadi jembatan beragam kepentingan dalam masyarakat, bukan hanya kelompok tertentu. Dan, itu akan terus terpelihara ketika ulama mampu menempatkan dirinya sebagai sosok yang mengayomi, bukan mengadili. Mengayomi terkait dengan kepentingan banyak orang, sementara mengadili tertuju pada kepentingan tertentu. Peran ulama sebagai pandu moral bagi aktivitas masyarakat telah diakui masyarakat selama ini.

Hal itu akan tetap efektif apabila ulama mampu menjadi panutan bagi seluruh umat, bukan bagi kelompok tertentu. Keistikamahan ulama dalam menjalankan fungsinya sebagai pandu moral masyarakat akan menjadi salah satu nilai lebihnya yang menciptakan kenyamanan dan kesejukan dalam kehidupan. Karena itulah, umat akan selalu merindukan dan membutuhkan kehadirannya. Partai politik dan pembangunan umat merupakan dua ranah yang membutuhkan peran ulama. Hal itu akan terwujud apabila ulama mampu memerankan diri secara proposional dan universal.

Universalitas peran ulama berlangsung ketika ulama tidak menyekat dirinya dalam kepentingan kelompok-kelompok tertentu, termasuk kepentingan partai politik. Keterlibatan ulama dalam partai politik pada kenyataannya telah membuat dirinya terfragmentasi sesuai kepentingan partainya. Wajarlah jika masyarakat mengaitkan apa yang dikatakan ulama itu dengan kepentingan politiknya. Ulamapolitikus, yaitu ulama yang, karena punya massa, kemudian terjun atau dilibatkan dalam dunia politik praktis, cenderung dijadikan alat politis partai.

Partai politik mebutuhkan politikus-ulama, yaitu kader partai yang memiliki kualitas intelektual yang mumpuni, alim, dan integritas moral yang tinggi sehingga mampu mewujudkan visi dan misi politiknya bagi kepentingan umat. Para ulama yang concern dalam pemberdayaan umat menjadi kekuatan profetis (transformatif) bagi dinamika kehidupan nasional dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral dan spiritual. Bukan sebaliknya, menjadi alat legitimasi atas kepentingan kelompok tertentu.

Universalitas dan integritas yang dimiliki ulama telah menyebabkan kehadirannya menjadi tempat bersimpuh semua kepentingan masyarakat dari berbagai kepentingan politik. Ketika ulama mampu memerankan itu secara efektif, tugas partai politik dan pembangunan umat dengan sendirinya sudah dijalankan. Ini disebut: sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

Opini Republika 15 Januari 2010

Sejak kita merdeka, dari lima mantan RI-1 hanya Ibu Mega yang mengakhiri masa jabatannya tanpa kekisruhan. Lain-lainnya, betapa pun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan. Itu menandakan, betapa pun besar pujian orang luar mengenai demokrasi kita, sejujurnya kita masih dalam tahap belajar berdemokrasi.

Kata sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1889-1975), bila menginginkan rezim demokrasi berjalan memuaskan, etika dan kemampuan intelektual jajaran pimpinannya harus demikian tinggi hingga rakyatnya tidak merasa dipaksa mematuhi kepemimpinannya. Namun fakta sejarah menunjukkan, jarang sekali ada rezim demokrasi semulus itu.


Maka ingar-bingar politik yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya wajar karena masih begitu banyak ketidakberesan dalam tata negara maupun tata masyarakat kita. Prakarsa RI-1 membentuk tim-tim untuk menembus berbagai jalan buntu, khususnya di bidang hukum, seharusnya mendapat acungan jempol. Sebab nyata-nyata ada kebuntuan. Sebut saja soal mafia hukum. Namun ada saja yang menghendaki agar digunakan jalur resmi yang sudah ada. Mungkin banyak yang menginginkan status-quo. Sayang bahwa pendapat demikian justru datang dari pihak-pihak yang seharusnya mengadakan pendobrakan. Tindakan satgas yang membongkar ketidakwajaran di lapas, misalnya, yang mencerminkan gelagat mafia hukum, malahan dianggap mencari kepopuleran. Padahal dengan tindakan itu, rakyat semakin tahu hal-hal yang melanggar rasa keadilan.

Menyemai tunas-tunas baru

Ibarat berkebun, sekitar dua pertiga tanaman mungkin sudah rusak; karena tua atau karena sebagian besar kena hama. Itulah gambaran masyarakat kita--menua atau sebagian kehilangan nilai-nilai dan norma. Tukang kebun berusaha menyelamatkannya, bukan hanya dengan obat pembasmi hama, tetapi segala macam cara diupayakan. Itulah yang dilakukan RI-1 ketika mencanangkan program ganyang mafia hukum. Tindakannya seperti membangunkan harimau tidur. Terdengar aum banyak harimau di mana-mana. Bagaimana kelanjutannya, ikuti saja prosesnya agar kita belajar siapa-siapa yang bisa disebut mafia. Bukan hanya di bidang hukum, melainkan juga di bidang-bidang lain.

Kalau tadi disebutkan ibarat tanaman di kebun yang mungkin dua pertiganya sudah rusak, karena dari hampir 235 juta penduduk Indonesia, lebih dua pertiganya terdiri dari orang-orang dewasa. Selebihnya anak-anak. Yang kemungkinan terkontaminasi kebiasaan buruk adalah yang dewasa. Mereka inilah yang terkena efek domino perbuatan yang melanggar aturan berbangsa dan bernegara. Tetapi bangsa ini belum mati langkah. Harapan masih bisa kita letakkan di pundak anak-anak, yang 1-2 generasi lagi akan bertanggung jawab terhadap nasib bangsa dan negara ini.

Maka rasanya kita bisa memasang strategi dengan menarik fokus ke usaha asah-asih-asuh yang ideal untuk anak-anak yang sekarang jumlahnya mendekati 75 juta orang.

Anak-anak sebagai prioritas

Kalau ingin menilai kemajuan suatu bangsa dan mendapat gambaran bagaimana masa depannya, perhatikan usaha negara dan rakyatnya membesarkan dan mengatur pendidikan anak-anaknya. Kesimpulan itu diperoleh dari pertemuan konsultasi yang difasilitasi UNICEF, Badan PBB untuk Anak-anak, di Singapura bulan Januari 2009, tepat satu tahun lalu. Pertemuan tersebut dihadiri 150 akademisi, pembuat kebijakan, para menteri keuangan, dan pejabat tinggi negara dari wilayah Asia Timur dan Asia Pasifik.

Profesor Kishore Mahbubani dari National University of Singapore's Lee Kuan Yew, tempat penyelenggaraan pertemuan, mengemukakan pendapat dan pengamatan menarik. Menurut dia, gejala kehancuran Uni Soviet sudah terlihat dari melemahnya seluruh indikator kesejahteraan anak. Dia katakan, kondisi anak-anak adalah pertanda jelas tentang bagaimana masa depan suatu bangsa. Dia menambahkan, dari krisis ekonomi satu dasawarsa yang lalu dapat dipetik pelajaran tentang bagaimana menyusun kebijakan terbaik untuk mengamankan dan melindungi program-program kesejahteraan anak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuan itu menegaskan bahwa apa pun yang terjadi, kesejahteraan anak harus mendapat prioritas utama. Katanya lebih lanjut, ada tiga hal penting untuk melindungi kesejahteraan anak dan upaya mencapai Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs}: meningkatkan kapasitas dan kemampuan fiskal, termasuk reformasi pajak dan memerangi korupsi di dalam tata pemerintahan; kebijakan alokasi dana yang tepat-efektif-cerdas yang langsung ditujukan pada kelompok sasaran; dan reformasi kelembagaan.

Mengenai kesejahteraan anak, Sri Mulyani mengatakan bahwa masalahnya bukan hanya menyangkut pangan, melainkan juga pendidikan, pelayanan kesehatan, dan penghapusan kondisi-kondisi yang membahayakan tumbuh-kembangnya anak.

Anakku, pahlawanku

Masyarakat secara serempak dan spontan mengusung gagasan agar Gus Dur(alm) diangkat menjadi pahlawan nasional. Alangkah idealnya seandainya spirit yang sama mengusung gagasan untuk memfokuskan perhatian pada kepentingan anak-anak Indonesia, siapa pun anak itu; tidak peduli dari suku atas ras mana, dari kota atau desa, dari gedongan atau anak jalanan. Faktanya, di antara anak-anak usia wajib belajar, 7-15 tahun, 2,2 juta belum menikmati pendidikan dasar sembilan tahun. Dari hampir 13 juta anak usia 16-18 tahun, sekitar 5,5 juta tidak bersekolah. Dari 25 juta anak usia kuliah, 19-24 tahun, hanya 4,3 juta sempat kuliah.

Maka lain kali bila bertemu muka dengan seorang anak, tataplah sorot matanya yang bening, dan pikirkan bahwa di balik sorot mata itu tersimpan jiwa dan pikiran yang bisa dikembangkan seluas-luasnya, yang berpotensi membawa negeri ini ke tingkat kemajuan yang kita idamkan. Sebagai prasyarat, ulurkan tangan demi asah-asih-asuh yang memadai. Satu-dua generasi lagi mudah-mudahan kita bisa dengan bangga mengatakan, merekalah pahlawan-pahlawan nasional kita.

Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini MEdia Indonesia 15 Januari 2010


Tiga janda Kristina, Cici Paramida dan Ikke Nurjanah membuat sensasi. Ketiganya di 3 Kembang Mencari Cinta TPI memilih pria lajang untuk dijadikan tambatan hati.

Para pria tersebut yang terdiri dari 10 orang di setiap episodenya akan diuji tiga diva dangdut Indonesia itu dengan menunjukan 'kelebihan' dirinya masing-asing sesuai kapasitas lelakinya. Hal itu dilakukan sebagai ajang pembuktian kalau mereka layak dipilih untuk menjadi tambatan hati 3 janda kembang itu.

Bukan rayuan gombal semata, para pria lebih mengedepankan kelebihan seperti bernyanyi, bermain musik, sulap, olahraga dan lainnya. Lebih dari itu, mereka diuji intelektual dan stamina fisiknya.

"Acara ini seru-seruan. Biar pun intinya kita ingin mendekatkan diri dengan penggemar siapa tahu memang ada yang nyangkut. Kita kan nggak tahu kalau memang itu jodoh kita," ungkap Kristina, saat ditemui di jupa pers HUT TPI ke-19 di Kartika Chandra, Gatot Soebroto, Jakarta Selatan.

Apa yang dikatakan Kristina disetujui Cici dan Ikke. Mereka sepakat mencari tambatan hati di acara 3 Kembang Mencari Kumbang TPI.

"Kalau kita bertiga dapat pria yang cocok kenapa tidak? malah kalau benar, kita bertiga siap bareng atau kawin massal," kata Kritina yang diangguki Cici dan Ikke. Setelah itu ketiganya tertawa lepas dalam nada canda.

Inilah.com


Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal dengan “Peristiwa Malari” biasanya dikaitkan dengan penentangan modal asing khususnya Jepang di Indonesia.

Saat itu memang mobil dan motor buatan Jepang dibakar di mana-mana. Tercatat 807 buah mobil dan 187 sepeda motor yang dirusak atau disulut api. Selain itu juga jatuh korban manusia. Sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 144 buah bangunan rusak berat dan 160 kg emas hilang dari sejumlah tokoh perhiasan. Peristiwa itu ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974).

Mahasiswa merencanakan penyambutan kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Kemudian meletuslah kerusuhan dan pembakaran di Senen dan di beberapa tempat lain di Jakarta. Ketika pulang ke Jepang, 17 Januari 1974 pukul 08.00 pagi PM Tanaka berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tapi diantar Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke Halim Perdanakusuma. Itu memperlihatkan bahwa suasana kota Jakarta masih mencekam.

Apakah betul peristiwa itu luapan sentimen anti (modal)-Jepang? Tulisan ini menggambarkan bahwa hipotesis itu tidak tepat, aktivitas pembakaran barang-barang buatan/merek Jepang hanya dalih dari pihak yang bertikai bahkan bersaing meraih kekuasaan tertinggi. Kasus ini mencerminkan friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo.

Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa juga tampak di kemudian hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan masyarakat terhadap Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dll) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Setelah terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta pun menjadi berasap.

Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkomkabtib dan mengambil alih jabatan tersebut. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Soetopo Juwono “didubeskan” dan diganti Yoga Sugama. Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng keningnya karena itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang.

Malu yang tak tertahankan itu menyebabkan dia selanjutnya sangat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang mengusik pemerintah. Selanjutnya dia sangat selektif memilih pembantu dekatnya antara lain dengan kriteria “pernah jadi ajudan presiden”. Dengan begitu, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan lebih sistematis.

Malari sebagai Wacana

Di dalam buku Otobiografi Soeharto (1989) kasus Malari 1974 tidak disinggung sama sekali. Mengenai penembakan misterius (Petrus), Soeharto justru cukup berterus terang. Dalam Memori Jenderal Yoga (1990) peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks dari kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak 1973. Yoga Sugama berada di New York ketika kerusuhan 15 Januari 1974.

Namun, lima hari setelah itu dia dipanggil ke Jakarta untuk menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala Bakin. Menurut Yoga, kegiatan di berbagai kampus baik ceramah maupun demonstrasi yang mematangkan situasi dan akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah.

Awalnya adalah diskusi di Kampus UI Jakarta (13-16 Agustus 1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul kemudian dengan peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan “Petisi 24 Oktober”. Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing.

Kumulasi dari aktivitas itu akhirnya mencapai klimaksnya dengan kedatangan PM Jepang Tanaka Januari 1974 yang disertai bukan saja demonstrasi, melainkan juga kerusuhan. Dalam buku-buku yang ditulis Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo. Ali Moertopo dan Soedjono Humardani “membina” orang-orang eks DI/TII dalam Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI).

Dalam kasus Malari, lewat organisasi tersebut dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kiai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp30 juta (yang cukup besar waktu itu) untuk membayar para preman, sementara Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan ituâ€" antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra, dan Coca- Colaâ€"dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Sumitro-Soetopo Juwono.

Ini dilukiskan dalam buku Heru Cahyono, Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980, dari Pemilu sampai Malari (1992). Sebaliknya dalam “dokumen Ramadi” diungkapkan rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus sehingga akhirnya “Ada seorang jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar April hingga Juni 1974.

Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”. Ramadi dikenal dekat dengan Soedjono Hoemardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam “dokumen” itu tentu mengacu kepada Jenderal Soemitro. Dengan berakhirnya peristiwa Malari, selanjutnya tidak ada lagi demonstrasi yang besar anti-Jepang.

Meskipun dalam 3,5 tahun pendudukan Jepang di Indonesia masih terdapat kesan tentang kekejaman yang dilakukan tentara Jepang yang tidak segan misalnya menempeleng orang yang tidak mengikuti perintah mereka, namun di sisi lain hal itu oleh sebagian masyarakat diterima sebagai suatu sikap penegakan disiplin. Pemerintah berupaya keras agar citra Jepang yang tidak jarang kasar selama masa pendudukan itu tidak sampai menyelusup ke dalam pikiran orang Indonesia.

Karena itu, departemen penerangan era Orde Baru langsung melarang pembuatan film Romusha. Alhasil, sampai sekarang kitaâ€"â€"tanpa sentimen anti modal asingâ€"â€"masih bisa menikmati fasilitas yang diberikan mobilmobil dan sepeda motor Jepang dan barang produksi lainnya. Menarik melihat persepsi orang Jepang terhadap peristiwa tersebut.

Saya pernah diwawancarai seorang penulis Jepang yang menanyakan apakah peristiwa Malari menguntungkan kompetitor Jepang dalam investasi di Indonesia seperti Korea Selatan? Sejak Oktober 1972 sampai Januari 1974 terjadi pelonjakan harga minyak dunia dari USD3 menjadi USD12 per barel. Jelas ini sangat berdampak bagi negara industri maju yang mengonsumsi minyak.

Ketika itu AS sedang dilanda skandal Watergate. Di antara negara maju, Prancis dan Jerman yang mengambil inisiatif untuk mengatasi masalah harga minyak ini. Sang penulis Jepang itu bertanya kepada saya,“Apakah ada indikasi keterlibatan Prancis dalam Malari 1974?” “Saya tidak tahu,” jawab saya.Dia juga tidak menceritakan kepada saya bahwa Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka itu kemudian diajukan ke pengadilan karena terlibat korupsi pembelian pesawat Lockheed.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI

Opini Okezone 14 Januari 2010

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/