Tanggal 28 Januari 2010 pemerintahan SBY-Boediono genap berusia 100 hari. Banyak kalangan mengkritik tidak adanya capaian signifikan selama 100 hari pemerintahan.

Bahkan ada pula yang telah mempersiapkan peringatan 100 hari tersebut dengan demonstrasi. Di sisi lain pemerintah mengklaim telah merampungkan hampir seratus persen target pemerintahan yang diagendakan. Bagaimana memberikan penilaian terhadap kinerja pemerintahan pada kurun waktu tersebut?

Waktu Konsolidasi

Apa yang istimewa dari tiap 100 hari pemerintahan yang baru di hampir semua negara? Berbagai jawaban bisa diajukan, tetapi satu hal pasti merupakan kesamaan bahwa awal waktu sebuah pemerintahan adalah masa bulan madu (honeymoon period). Mengapa disebut sebagai periode bulan madu? Karena pada dasarnya kurun tersebut merupakan waktu yang diperlukan oleh sebuah pemerintahan untuk melakukan konsolidasi, rekonsiliasi dan integrasi visi,misi, tujuan dan program yang akan dicapai selama masa pemerintahan.

Bahkan jika dilihat siklus anggaran, maka 100 hari pemerintahan SBY-Boediono berada di ujung tahun anggaran, yaitu saat semua agenda pemerintahan sebenarnya sudah terencana dalam APBN dan APBD tahun berjalan. Bahkan dapat dikatakan bulan Oktober sampai Desember lalu sebenarnya merupakan bulan-bulan tutup buku dan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan, sehingga praktis tidak mungkin melakukan hal-hal besar dalam pemerintahan.

Jika seratus hari pemerintahan adalah masa yang dibutuhkan untuk membangun fondasi tim dan program pemerintahan, mengapa masa itu menjadi demikian dramatisnya di Indonesia? Barangkali hal ini yang menarik untuk diberikan analisis. Pemerintah sebenarnya sangat sadar bahwa dalam seratus hari pemerintahan tidaklah mungkin melakukan perubahan besar seperti yang diharapkan oleh masyarakat.

Tetapi kesadaran itu mengalami metamorfosis kepentingan, sehingga politik pencitraan lebih menonjol ketimbang esensi target pemerintahan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari 15 program utama dalam seratus pemerintahan SBY-Boediono yang sejatinya hanya merupakan peletakan fondasi bagi terwujudnya keseluruhan tujuan di akhir pemerintahan tahun 2014.

Di antara kelima belas program tersebut (1) pemberantasan mafia hukum, (2) revitalisasi industri pertahanan, (3) penanggulangan terorisme, (4) ketersediaan listrik, (5) penataan tanah dan tata ruang, (6) peningkatan infrastruktur, (7) reformasi pendidikan, dan (8) koordinasi antara pusat dan daerah. Jika diamati dan dipahami, program-program utama tersebut adalah sesuatu yang mustahil bisa dicapai dalam kurun waktu 100 hari pemerintahan.

Bahkan pemberantasan mafia hukum, misalnya, merupakan salah satu agenda yang sangat berat untuk dilakukan karena menyangkut tidak saja sistem penegakan hukum, tetapi juga perubahan budaya dan perilaku penegak hukum yang tidak bisa dilakukan hanya dengan PO BOX layanan pengaduan. Demikian pula persoalan tanah dan tata ruang adalah persoalan ekonomi politik yang kronis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Penulis tidak akan membahas lebih lanjut untuk masing-masing capaian target dari program 100 hari tersebut, karena jelas rapornya akan berwarna jika dilihat dari impact yang dihasilkan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lalu jika semua itu hanya merupakan program konsolidasi dan peletakan fondasi bagi jalannya pemerintahan selanjutnya, mengapa selalu dipersoalkan kinerja 100 hari pemerintahan. Ada tiga jawaban yang diberikan.

Pertama, lemahnya komunikasi politik pemerintah untuk menjelaskan target 100 hari pemerintahan dalam konteks target besar pemerintahan secara keseluruhan selama lima tahun. Lemahnya komunikasi politik ini juga disebabkan oleh niat yang besar untuk membuat politik pencitraan, ketimbang esensi program itu sendiri. Sebenarnya hal ini berbahaya bagi pemerintah karena bisa menyebabkan mispersepsi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap SBY-Boediono yang dianggap gagal menciptakan quick wins bagi masyarakat.

Kedua, 100 hari pemerintahan sering pula dijadikan sebagai komoditas politik bagi oposisi untuk menjatuhkan citra pemerintahan yang berkuasa dan memperkuat dukungan masyarakat bagi partai dan politisi oposisi. Tidak mengherankan jika 100 hari pemerintahan selalu dikaitkan dengan pergantian kabinet atau reshuffle kabinet, karena hal ini akan berarti bagi para politisi lain untuk menduduki jabatan menteri. Ketiga, ketidakpahaman masyarakat umum mengenai seluk-beluk pemerintahan juga bisa dimanfaatkan untuk memolitisasi kegagalan 100 hari pemerintahan.

Berbagai Faktor Distorsif

Pemerintah harus jujur mengakui bahwa 100 hari pemerintahan ini hanya menjadi waktu konsolidasi dan peletakan fondasi pemerintahan. Masyarakat harus mengetahui bahwa 100 hari pemerintahan untuk sebuah perubahan yang mendasar adalah sebuah ilusi. Penulis sendiri melihat berbagai faktor yang juga mengganggu jalannya pemerintahan selama 100 hari pemerintahan.

Meskipun demikian, tentu saja ada sejumlah penilaian yang bisa diberikan. Pertama, kontrak kinerja menteri dengan Presiden ternyata cukup mampu menggairahkan semangat kementerian untuk mencapai hal-hal yang sudah disepakati. Bahkan penulis melihat ada kekhawatiran sejumlah pejabat birokrasi pemerintahan jika tidak mampu memenuhi kontrak menterinya dengan Presiden.

Sampai pada tahap itu program 100 hari pemerintahan dapat dikatakan memberikan shock therapy terhadap birokrasi. Jika emosi ini bisa dijaga oleh setiap menteri sampai tahun kelima, maka bukan tidak mungkin target besar pemerintahan dapat dicapai. Hanya, penulis khawatir bahwa pengalaman yang sudah lalu menunjukkan emosi semacam ini justru bisa bertahan dalam 100 hari pertama saja.

Kedua, beberapa produk kebijakan, peta jalan, grand design, pola dasar, dan strategi sebagai target 100 pemerintahan juga sudah rampung dibuat. Meski demikian, perlu diberikan catatan bahwa keberhasilan pemerintahan tidak berhenti diukur dari adanya kebijakan saja, melainkan implementasi kebijakan tersebut. Ketiga, banyak hal yang dapat dianggap sebagai faktor pengganggu dalam 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, mulai dari kasus Bibit-Chandra sampai hak angket DPR pada kasus Bank Century.

Masalah-masalah tersebut jelas sangat menyita konsentrasi pemerintah untuk menyukseskan program-program utama tersebut. Keempat, dalam sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, keberhasilan pemerintahan bukan hanya diukur dari keberhasilan pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga nonkementerian, tetapi juga oleh pemerintahan daerah.

Bahkan dampak langsung kinerja pemerintahan terhadap kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat kerap merupakan hasil kerja nyata pemerintahan daerah.Akhirnya penulis berharap seluruh pemangku kepentingan menyadari bahwa 100 hari pemerintahan bukanlah obat segala persoalan, melainkan peletakan fondasi pemerintahan.(*)

Eko Prasojo
Guru Besar dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI 

Opini Okezone 28 Januari 2010



Ikan laut yang memiliki penampilan paling terjelek di dunia sedang terancam punah. Ilmuwan khawatir ikan Blobfish yang dapat tumbuh hingga 12 inci akan punah.

Ikan itu terdegradasi akibat akibat aktivitas memancing yang berlebihan di laut tenggara Australia, tempat di mana habitat ikan langka tersebut hidup.

Ikan yang mampu hidup di kedalaman 800m jarang terlihat oleh manusia, tetapi kehidupannya setara dengan organisme lainnya yakni bersama dengan kepiting dan makhluk hidup layak konsumsi lainnya. Sebagai hasilnya, ikan yang tidak bisa dimakan tersebut terbawa ke atas bersama dengan tangkapan lainnya oleh kapal pukat nelayan.

Pakar Kelautan Profesor Callum Roberts dari Universitas York mengatakan bahwa Blobfish memiliki banyak masalah menyedihkan.

Profesor Roberts yang menulis buku Sejarah Non-Alami Laut mengatakan, "Blobfish sangat rentan terangkat ke atas oleh jala dan dari fakta yang kami ketahui bahwa ikan tersebut hanya hidup di kedalaman tersebut."

"Aktivitas memancing di kedalaman tertentu di Australia dan New Zealand adalah yang paling aktif di dunia jadi sangat tidak layak memang jika Blobfish ada disana. Sejumlah besar laut dalam, terancam oleh aktivitas memancing yang paling merusak," ujar Roberts.

Dia menambahkan bahwa ada area laut dalam yang terproteksi di Laut Selatan tetapi hanya mampu melindungi karang bukan Blobfish.

"Kita telah melakukan banyak aktivitas memancing di kedalaman 200m dan saat init kita harus berpindah ke kedalaman yang berkisar pada angka ribuan kedalamannya. Di tahun 2006, para ahli konservasi telah hampir mendekati kesepakatan global dalam hal pelarangan pemancingan di laut dalam," ujar Roberts.


This is an abridged and translated statement by the President  to the press (from an unofficial transcript) after a meeting with other heads of high state institutions â€"  including the vice president, Speakers of the People"s Consultative Assembly (MPR), the House of Representatives (DPR) and the Regional Representatives Council (DPD), Chiefs of  the Supreme Court, the Constitutional Court and the heads of the State Audit Agency and the Judicial Commission â€" at the Bogor Palace on Jan. 2.


The challenges are first,  the four pillars of the State"s way of life that we refer to as our  basic consensus: the Pancasila state ideology, the 1945 Constitution, the Unitary Republic of Indonesia, and the state motto Unity in Diversity. We all agreed to observe our respective tasks in order to strengthen these pillars.
The second relates to the proliferation of administrative regions. A moratorium has been put in place pending the outcome of an evaluation. We will come up with a grand policy design and master plan in 2010 and consult them with the DPR and DPD before they become policy.
The above proliferation imposes a huge budget burden on the state. These moves must lead to improvement of people"s welfare and not the other way round. In the last 10 years, we have seen the creation of more than 200 new autonomous regions.
We cannot let this happen without a clear concept. With the new grand design and master plan, some regions may be divided and some have to be merged with others.
The third relates to free trade, including the ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Free trade is not a novelty for us. We took the initiative at an APEC Summit here in Bogor in 1994. In 2003, we had three meetings in Bali, the ASEAN Summit, the ASEAN+3 and the ASEAN with its dialogue partners, which culminated with ACFTA.
Today, there are talks about not implementing ACFTA. The government position is clear: we will see and evaluate our preparedness.
We need to meet and discuss so that the objectives of the agreement will not create problems to our
people. These talks should be conducted according to international practices.
The government will manage this problem as best as it can. We have to protect the interests of our people and prepare them better but we must maintain strong cooperation within ASEAN and with our trading partners.
The fourth challenge is the stability of commodity prices. The recovery of the global economy has led to increases in prices of basic commodities. The government is taking steps to prevent this from burdening people. We have set aside Rp 38 trillion under the Amended 2010 Budget to stabilize prices through market operations and other measures.
The fifth relates to the 2014 general elections. We have some way to go, but the campaign for legislative elections will commence in July 2013. Learning from past experiences, we have to prepare early.
All the laws should already be in place two years ahead. We are counting on the cooperation of the House of Representatives. We must also appoint the Election Commission and assign it with the appropriate budget.
Number six relates to the amendment of the 1945 Constitution.
Although the Constitution makes provisions for constitutional amendment, we have to make sure that the changes reflect the urgency and the will of the people.
Number seven relates to the local elections at provincial and regency levels. We want these polls to be more effective and efficient, and not become costly political exercises. We need to improve the mechanisms and the rules of these local elections.
The eighth challenge would be  the campaign to end mafia practices in the judiciary. The Task Force to Fight the Judiciary Mafia enjoys widespread support and counts on public participation. People can report directly to my office or the Task Force, and their information will be followed up.
Number nine relates to the national school final exams. The government will make sure that
preparatory steps are taken beforehand. They will be in accordance with the Supreme Court ruling, without sacrificing the quality of our education.
The 10th challenge relates to the judicial review process conducted by the Constitutional Court. The court is obliged to explain to the public about its rulings.
Number 11 relates to the quality of judges. We have had cases of judges acting unprofessionally.
Reforming the judiciary is imperative and must be thorough, and not simply confined to the district courts. We need to build a credible judiciary system.
Number 12 is  financial accountability. All state institutions must strive to improve the quality of their financial reporting and auditing. We support the initiative to build an audit facility that links them with the BPK, so that any irregularity can be checked, traced and tracked immediately.
The 13th challenge is  the checks and balances between the different state institutions.
They can synergize their acts, sometimes complementing one another, other times  controlling each other, but they are there to prevent abuse of power.
These checks and balances mechanisms are not meant as tools for one state institution to bring another down.
This is a presidential, not parliamentary system of government, so we don’t recognize the concept of “vote of no confidence” that can bring down the Cabinet. Conversely, the President cannot dissolve the parliament, the MPR and the DPD. The rules on impeachment are clearly stipulated in the Constitution.

by Susilo Bambang Yudhoyono
Opinion of The Jakarta Post, January 28, 2010


Punya kebiasaan baju yang baru dibeli langsung dipakai? Sebaiknya cuci dulu baju baru lalu menggunakannya. Karena baju yang baru di beli di toko manapun seringkali mengandung bakteri yang bisa menimbulkan penyakit.Dr Philip Tierno, direktur klinis mikrobiologi dan imunologi dari New York University Langone Medical Center menguji beberapa pakaian yang dibelinya dari 3 toko berbeda, mulai dari toko yang mahal hingga yang murah.

Dr Tierno menemukan pakaian-pakaian tersebut mengandung segala macam bakteri, termasuk bakteri yang berkaitan dengan kotoran, ketiak dan alat kelamin.

Jumlah bakteri paling banyak ditemukan pada pakaian yang telah dicoba oleh banyak pembeli, tapi ditemukan pula pada pakaian yang dibawa pulang."Tubuh kita secara alami memang mengandung berbagai macam bakteri. Tapi dari sekitar 60.000 kuman, hanya sekitar 1-2 persen saja atau 600-1.200 bakteri yang bersifat patogen (bisa menyebabkan penyakit)," ujar Dr Tierno, seperti dikutip dari Washington Post.

Dr Tierno menambahkan bakteri patogen lebih mudah menular dibandingkan yang lain, salah satunya adalah Norovirus yang dapat menyebabkan penyakit saluran pencernaan.

Bakteri tersebut dapat hidup di pakaian kering selama beberapa hari dan jika bakteri tersebut dipegang oleh seseorang ketika mencoba pakaian, maka saat dikembalikan ke rak bisa tertular ke orang lain atau dirinya sendiri dan masuk ke sistem tubuhnya.

Bakteri lainnya adalah Staph MRSA dapat hidup pada pakaian katun selama 6 bulan. Bakteri MRSA bisa ditularkan melalui kontak langsung ataupun tak langsung dengan kotoran, hidung, ketiak atau di sekitar areola puting susu."Risiko tubuh menjadi sakit akibat pakaian baru masih rendah, tapi risiko ini bisa dikurangi lagi dengan mencuci tangan sebelum makan atau menyentuh wajah, hidung atau mulut setelah mencoba pakaian atau dengan menggunakan pakaian dalam ketika mencoba pakaian yang lain.

Terutama jika Anda memiliki luka di tubuh," ujar Dr Tierno.Selain itu cara pencegahan lainnya adalah dengan mencuci dan menyetrika baju baru sebelum digunakan, untuk menghilangkan kemungkinan adanya bakteri-bakteri patogen dari pakaian tersebut.



Meskipun malu-malu mengakui hubungan diantara mereka,Julie Estelle dan Ello sering jalan bareng.

Yang terakhir foto hot kemesraan Ello dan Julie Estelle berpelukan di kolam renang terekam kamera.

Masihkah mereka mengelak dengan hubungan mereka.Masa kalau gak ada hubungan spesial sampai peluk-pelukan di kolam renang.

Foto hot Ello dan Julie estelle diduga diambil saat mereka liburan,tapi belum pasti tempatnya.Ini dia foto kemesraan Ello dan Julie Estelle.


Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/