Kencan pertama boleh jadi berhasil atau gagal sama sekali. Bagaimana komunikasi dan ketertarikan hadir saar pertemuan pertama akan menentukan nasib hubungan selanjutnya. Persoalan macam ini pun dialami pria, apalagi ketika mereka berniat Justify Fullmencari istri, bukan sekadar pasangan untuk menemani datang kawinan. Temukan bagaimana cara mereka berkencan untuk merebut hati Anda.

1. Lebih selektif
Pria yang hanya berambisi berkencan dengan sebanyak mungkin perempuan tak akan mendapatkan pasangan yang tepat. Mereka mulai menyadari hal ini, dan tidak terlalu berambisi lagi mengoleksi perempuan. Jadi, saat kencan, Anda bisa menggali niat mereka ini. Bila Anda tahu mereka berkonsentrasi dalam menjajagi hubungan dengan Anda, dan tidak asal memilih perempuan yang mau menerima dirinya, beri dia approval.

2. Menjaga penampilan
Tak hanya perempuan yang ingin selalu tampil menarik, pria pun begitu. Meski tak memakai pakaian branded, setidaknya pria berusaha terlihat menarik dan enak dipandang oleh pasangan kencannya. Mereka memperhatikan tatanan rambut hingga sepatu yang digunakan. Mereka tahu perempuan sangat memperhatikan hal-hal detail.

3. Obrolannya "dalem"
Jika Anda senang pria pendiam, lain soal jadinya. Namun pria yang ingin serius akan lebih aktif bertanya mengenai kehidupan pribadi Anda. Cara ini digunakan pria untuk menyeleksi apakah Anda memang memiliki visi yang sama dengannya. Ia memberikan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam, seperti apa keinginan Anda di masa depan, atau apa pendapat Anda tentang perempuan yang berhenti bekerja setelah memiliki anak. Namun ia juga akan melontarkan hal-hal kecil, seperti apa kebiasaan Anda sebelum berangkat ke kantor, atau apa yang Anda obrolkan saat menelepon ayah Anda yang tinggal berlainan kota.

4. Tak melulu menceritakan obsesinya
Blak-blakan mengenai diri sendiri memang penting sejak awal menjajagi hubungan. Namun tak berarti sepanjang kencan didominasi oleh presentasi mengenai obsesi si dia. Pria yang berusaha menahan diri membicarakan diri dan obsesinya jelas menganggap pasangan kencannya lebih penting. Jika pasangan kencan Anda menguasai pembicaraan dengan cerita seputar pengalaman maskulinitas dirinya, tanpa peduli Anda sudah mulai bosan, hm... tinggalkan saja.

5. Tahu apa tujuan hidupnya
Pria yang tahu benar apa yang ia cari, akan terlihat kesungguhannya saat kencan. Bagaimana ia bersikap dan kejujuran yang dikatakannya saat kencan akan menandakan apakah si dia sekadar mencari pacar atau pasangan hidup.

6. Ingin selalu terlibat dalam keluarga Anda
Tanda pria ingin serius dengan Anda adalah kemauannya untuk selalu ada untuk Anda. Ia tidak hanya muncul saat acara senang-senang seperti pernikahan, tetapi juga ketika ada anggota keluarga Anda yang sakit atau meninggal. Ia selalu berusaha menunjukkan perhatian sebagai bentuk kesiapannya menjadi bagian dari keluarga Anda.

7. Tidak terburu-buru
Pria yang serius dengan Anda akan menahan dirinya untuk tidak terburu-buru terbawa nafsu, bahkan untuk sekadar mencium Anda sekalipun. Sikap yang matang akan ditunjukkan lebih sering, daripada sekadar menyalurkan hasrat biologisnya. Tentu, hal ini juga penting (karena siapa yang mau jika ternyata pasangan hidup Anda kurang hangat di ranjang, bukan?), namun tidak akan menjadi prioritas.



Seorang pria 'bermesraan' dengan seekor ayam di sebuah gerbong kereta api bawah tanah di New York.

Pria berbaring di lantai sebuah gerbong kereta api bawah tanah. Entah apa yang ada dalam benak pria itu. Tanpa mempedulikan penumpang di sekitarnya, pria ini asyik 'bermesraan' dengan seekor ayam betina.

Ayam berwarna coklat itu berulang kali dipeluknya, diletakkannya di atas dada serta perutnya. Tentu saja pemandangan aneh itu menjadi perhatian para penumpang lain. Tapi pria itu tetap meneruskan aksinya.

"Ia memegang ayam itu, meletakkannya di kepalanya, menciumi, memeluk dan melakukan hal-hal lain yang tidak pantas aku rinci," ujar blogger yang merekam kejadian itu dan mempublikasikannya di Nydailynews.

Tidak jelas apakah kejadian tersebut merupakan bagian dari adegan suatu film atau memang murni keinginan 'aneh' pria itu sendiri.


Iwan Gunadi
Peminat masalah sosial-budaya
Kambing hitam itu kembali hidup. Banyak kasus sosial-politik yang tak mampu dituntaskan kembali ditimpakan padanya. Penyerahan kesalahan kepada pihak ketiga tersebut menciptakan imaji bahwa kita tak pernah bersalah. Kita tak bisa bersalah. Pada posisi seperti ini, harus diakui bahwa kita juga bukan bangsa yang pemberani alias pengecut. Sebab, kita tak berani mengakui bahwa kita pernah dan atau bisa bersalah.
Rezim Orde Barulah yang telah membuat kita menjadi seperti itu. Selama sekitar 32 tahun kita dibentuk oleh rezim Orde Baru menjadi seperti itu. Tak heran kalau kemudian kita tak mudah lepas dari pola pikir seperti itu. Apologi demikian akan begitu mudah keluar dari bibir kita sebagai justifikasi atau pemafhuman bahwa kita boleh atau bahkan dibenarkan menjadi seperti itu.


Mungkin benar bahwa rezim Orde Baru mengajarkan kepada kita bahwa hal-hal yang baik saja yang pantas diklaim sebagai bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Kita hanya boleh belajar dari hal-hal yang baik, meski akhirnya kita lebih banyak berbuat buruk. Kita seperti haram belajar dari hal-hal yang tidak baik atau buruk, meski memang akhirnya kita juga belum tentu menjadi baik.
Akan tetapi, minimal kita telah diberi lebih dari satu pilihan. Dengan dihadapkan kepada lebih dari satu pilihan itu, kita merasakan suatu ketegangan. Ketegangan dalam memilih inilah tampaknya yang lebih jarang lagi kita rasakan. Padahal, ketegangan semacam itu punya potensi untuk menciptakan kedewasaan.
Meski begitu, bukan tak ada andil kita dalam setiap kesalahan atau keburukan yang terjadi di sekitar kita. Bagaimanapun kondisinya dan siapa pun pemicunya, potensi kesalahan dan keburukan tetap ada pada diri kita. Apalagi, kita bukan lagi bayi. Kita bukan lagi kertas putih. Sejumlah warna telah membentuk diri kita.
Kita tetaplah manusia. Kita bukan nabi, malaikat, apalagi Tuhan. Dalam diri manusia tetap ada wajah malaikat dan juga wajah setan. Selain sebagai penyejuk, penenang, atau pembangun, kita tetap berpotensi sebagai pemanas, pengacau, atau perusak. Kita bisa menjadi perusuh atau provokator. Itu semua punya potensi bangkit kapan dan di mana pun. Kepentinganlah yang akan menentukan potensi itu akan bangkit seperti apa.
Masihkah ada kesadaran seperti itu pada para elite politik kita? Kalau kita perhatikan komentar-komentar mereka di media massa, rasanya, pesimistis bagi kita untuk memperoleh jawaban yang positif dari pertanyaan tersebut. Seperti diungkap di bagian awal tulisan ini, mereka cenderung segera mencari atau bahkan menyerahkan kesalahan sebagai tanggung jawab pihak ketiga bila terjadi suatu konflik. Betulkah saya tidak bersalah? Betulkah bukan kami yang memulai? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mungkin sudah mereka lupakan.
Kalau para pemimpin saja kurang memiliki kesadaran seperti itu, kita akan lebih sulit mengharapkan kesadaran yang sama melekat kuat pada masyarakat yang dipimpin mereka. Kalaupun kesadaran itu ada pada mereka, belum tentu mampu diturunkan ke bawah. Maklum, para pemimpim di negeri ini umumnya tak membumi. Mereka tidak betul-betul lahir dari bawah. Mungkin, ada yang lahir seolah-olah dari bawah. Tapi, kecurigaan akan muncul tatkala wacananya tak sampai alias tak populer di bawah.
Padahal, kesadaran akan adanya potensi negatif pada setiap manusia dapat dijadikan titik tolak awal untuk menamengi munculnya potensi negatif tersebut ke permukaan. Kesadaran yang diiringi dengan upaya pendalaman terhadap keberadaan potensi negatif itu dapat merangsang setiap manusia untuk selalu bersiap menghadapi mewujudnya potensi itu, baik dari dalam diri sendiri maupun dari manusia lain. Minimal, kita tidak terpengaruh, sehingga pewujudan itu tak berkembang alias terlokalisasi. Sebab, akhirnya, tak satu pihak pun di sini yang diuntungkan, walau awalnya tampak seperti ada yang diuntungkan.
Bagaimana kalau itu semua tak dapat diwujudkan? Mungkin, diam-diam kita sedang berusaha menjadi malaikat atau bahkan Tuhan? Ini hampir seperti Friedrich Wilhelm Nietzsche. Bedanya, Nietzsche lebih dulu membunuh Tuhan dalam dirinya. Sementara, kita dengan meyakinkan tetap mengaku sebagai makhluk beragama yang menjunjung tinggi Tuhan. Tapi, itu hanya di bibir. Di kepala dan dada, pada saat yang sama, Tuhan telah dibungkus rapat-rapat, lalu ditaruh di gudang, sementara singgasana-Nya kita rebut dengan cara yang tampak demokratis.
Hebat, bukan? Sepintas ya. Tapi, orang-orang arif nan bijak, yang mampu melihat tidak hanya dengan rasionalitas, tapi juga dengan mata hati yang bening, melihat kita sebagai manusia yang benar-benar butuh pertolongan. Sebab, kita sudah tak mampu mengurus diri sendiri. Kita sibuk dengan kepribadian ganda. Kita dengan kesadaran penuh telah menceburkan diri ke dalam dunia skizofrenia lantaran melihat banyak keuntungan--walau tentu bersifat sementara--di sana.
Boleh jadi, kita sudah lama berenang di sana. Lantaran sudah merasa lama dan keasyikan itu, boleh jadi pula, kita merasa tak akan pernah tenggelam. Kita tak akan pernah lelah. Kita tak akan pernah kram. Ya, kita diam-diam telah menjadi Tuhan
Opini Lampung Post 30 Januari 2010


Cukup dengan ongkang-ongkang kaki di rumah sembari mengenakan 'helm ke mana saja' ini, orang bisa berwisata ke manapun mereka mau. Sensasi yang dihadirkan diklaim sangat mirip dengan situasi yang sesungguhnya.

Cukup mengagumkan memang. Sebab, kelima indera manusia bakal merasakan berbagai rupa pemandangan di helm bernama Virtual Cocoon ini seperti keadaan yang sebenarnya di dunia nyata.

Dikutip dari detikINET , perangkat tersebut memungkinkan pemakainya mencium aroma udara, merasakan cuaca yang menyengat ataupun suara-suara hewan di alam Afrika misalnya.

Semua itu dimungkinkan karena Virtual Cocoon ditautkan secara nirkabel dengan komputer untuk menghadirkan dunia virtual di dalamnya. Sementara bebauan yang ada disalurkan melalui semacam boks kimia yang menyemprotkan aroma pada perangkat.

Gadget canggih itu dikembangkan keroyokan oleh beberapa universitas di Inggris seperti Warwick University. Diharapkan, Virtual Cocoon bisa dipasarkan paling lambat 5 tahun ke depan.

"Idenya adalah memproduksi perangkat yang bisa digunakan dengan nyaman di rumah Anda. Ini bisa menjadi langkah besar ketimbang perangkat virtual yang ada sekarang," kata profesor Alan Chalmers dari Warwick University.


PERTANYAKAN di atas diajukan banyak pihak menanggapi wafatnya KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (GD). Namun, karena GD adalah tokoh multifungsi, pertanyaannya harus dispesifikasikan; pengganti GD dalam kapasitas apa? Sebagai tokoh PKB atau tokoh NU? Sebagai pemikir dan pejuang HAM serta pelindung kaum minoritas? Atau sebagai tokoh pembaruan Islam?

Tampaknya, hampir tidak mungkin mencari pengganti GD di dalam PKB. Perolehan suara PKB turun drastis dalam Pemilu 2009 akibat digesernya GD dari ketua umum Dewan Syura DPP PKB. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa tanpa GD, sebenarnya PKB sudah tidak ada artinya. Yenny Wahid tidak dapat menjadi pengganti GD di PKB.



Yang dapat mengganti fungsi GD di dalam PKB hanyalah islah antara kedua kubu, apalagi kalau ditambah PKNU. Momentum wafatnya GD seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik. Tampaknya, semua kubu bicara tentang islah, tetapi persepsinya berbeda-beda sehingga sulit dicapai islah yang nyata.

***

Walaupun di dalam struktur organisasi NU saat ini GD tidak punya posisi, tak bisa dibantah bahwa GD adalah tokoh utama komunitas NU. Hadirnya puluhan ribu pentakziah pada upacara pemakaman GD dan tahlilan tujuh hari wafatnya GD adalah bukti nyata pengaruh GD yang luar biasa. Para kiai berpengaruh, termasuk kiai yang tergabung dalam PKB Muhaimin dan PKNU, datang ke Tebuireng untuk menghormati wafatnya GD.

Sampai 12 Januari 2010, setiap hari ribuan peziarah masih mendatangi pusara GD di Tebuireng. Banyak yang datang dari tempat jauh, sebagian merupakan rombongan menggunakan bus. Selama ini pemakaman keluarga di Pesantren Tebuireng didatangi lebih dari 200 ribu peziarah setiap tahun. Kini jumlah peziarah setiap tahun diperkirakan meningkat dua kali dari jumlah yang selama ini datang. Makam GD akan menambah daya tarik makam KH Hasyim Asy'ari sehingga menjadi salah satu tujuan utama wisata ziarah yang banyak dilakukan warga NU kultural.

Jadi, rasanya dalam 10-20 tahun ke depan, sulit diharapkan munculnya tokoh pengganti GD yang setara di kalangan NU, baik organisasi maupun komunitas.

***

Dalam perjuangan penegakan HAM, anti kekerasan, antidiskriminasi, dan perlindungan terhadap kaum minoritas, selain GD masih banyak tokoh lain, sehingga mencari penggantinya tidak terlalu sulit. Tetapi, untuk perjuangan bagi perlindungan terhadap kaum minoritas dan kebebasan beragama, peran GD masih teramat kuat.

Kita menyaksikan bahwa perjuangan terakhir GD untuk membela kebebasan beragama ialah pengajuan uji materi UU No 1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konstitusi yang ditujukan untuk melindungi jamaah Ahmadiyah. Upaya di atas dilakukan bersama sejumlah LSM dan tokoh agama Islam.

Upaya seperti di atas itulah yang membedakan GD dengan banyak tokoh lain. Mereka setuju dengan prinsip perjuangan kebebasan beragama seperti GD, tetapi tidak melakukan sesuatu yang konkret seperti itu. Di TV One kita menyaksikan pernyataan Bingky Irawan tentang kesaksian GD (1998) di PN Surabaya pada persidangan pemeluk agama Konghuchu yang tidak boleh mencatatkan pernikahan mereka di kantor catatan sipil.

Salah satu bukti keberanian GD dalam membela kelompok yang menerima perlakuan diskriminatif ialah keinginan mencabut TAP MPR No XXV/1966. Sebenarnya tindakan itu tidak mungkin dilakukan GD karena bukan kewenangannya dan juga tidak taktis. Tetapi, GD tidak pernah memperhitungkan dampak dari tindakannya. Itulah keberanian GD yang terkadang merugikan dirinya sendiri. Kita paham bahwa amat sulit menemukan tokoh yang bisa menyamai GD dalam hal itu.

***

Gus Dur adalah tokoh pemikir pembaruan Islam, selain Cak Nur, Buya Syafii Ma'arif, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan banyak pemikir muda dari kalangan Muhammadiyah, NU, dll. Jadi, tidak terlalu sulit mencari penggantinya. Para pemikir muda itu akan berkembang mencapai kematangan dan bisa menggantikan para senior mereka. Tetapi, pengaruh mereka di dalam masyarakat masih harus ditingkatkan.

Tidak semua pemikiran GD diterima oleh mayoritas kalangan NU. Sebagai contoh, GD menolak UU Antipornografi, tetapi PB NU menerimanya. Hanya kebesaran sosok GD di mata masyarakat yang membuat pengaruh GD bisa bertahan walaupun sebagian pemikirannya bertentangan dengan arus utama pemikiran di dalam NU. Apakah aktivis The Wahid Institute akan mampu mengembangkan pengaruh pemikiran GD secara utuh di dalam NU? Sejarah yang akan menjawab.

Seorang kiai bertanya, apakah arti pidato Presiden SBY bahwa GD adalah Bapak Pluralisme? Saya menjawab bahwa secara harfiah plural berarti majemuk dan secara sederhana pluralisme adalah ajaran yang menghargai dan menghormati kemajemukan atau perbedaan dalam masalah agama, suku, ras, dan budaya.

Kiai lain bertanya, mengapa pluralisme dilarang oleh Majelis Ulama Indonesia? Saya jawab bahwa yang dilarang oleh MUI adalah pluralisme agama yang menyatakan bahwa semua agama itu sama. Ada bagian yang sama, tetapi ada yang tidak, terutama dalam masalah teologi. Walaupun ada (sedikit) perbedaan, agama-agama itu bisa dan harus bekerja sama. Saya katakan bahwa GD tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa semua agama itu sama.

Namun, Zuhairi Misrawi menulis di Kompas bahwa GD berpandangan bahwa semua agama itu sama. Perbedaan penafsiran terhadap pemikiran GD seperti di atas bisa jadi jumlahnya cukup banyak. Harus ada klarifikasi terhadap adanya perbedaan tersebut supaya masyarakat mengetahui mana pemikiran GD yang sebenarnya. (*)

*) Salahuddin Wahid, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang 
Opini Jawa Pos 29 Januari 2010 

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/